Luhut: Negara Tidak Akan Meminta Maaf Pada PKI

Senin, 30 Mei 2016 | 10:26 WIB
Luhut: Negara Tidak Akan Meminta Maaf Pada PKI
Menkopolhukam Luhut memimpin Upacara Pembukaan Pendidikan dan Pelatihan Kader Bela Negara, di Jakarta, Senin (30/5/2016). [Suara.com/Erick Tanjung]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
‎Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menyatakan bahwa negara dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo tidak akan meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) dan korban serta keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu dalam tragedi 1965. Hal itu disampaikan Luhut dalam Upacara Pembukaan Pendidikan dan Pelatihan Kader Bela Negara di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (30/5/2016).
 
"Anda harus paham ini, bahwa kita, negara ini tidak akan pernah minta maaf pada pemberontakan 1965‎. Sekali lagi saya minta para pelatih (Bela Negara) juga paham, bahwa kita tidak pernah ada pikiran sedikit pun untuk minta maaf pada PKI itu," kata Luhut.
 
Luhut menuturkan, terkait isu komunisme negara punya parameter sebagai acuan, yakni TAP MPRS 1966, UU No 27 Tahun 1999 dan TAP MPR 2003 tentang larangan partai komunis dan faham marxisme di Indonesia. Dia mengingatkan para peserta Bela Negara agar tidak terpengaruh isu yang berkembang di publik.
 
"Menyangkut masalah komunisme, sudah ada parameter yan‎g jadi pegangan kita. Jangan terbawa pembicaraan di luar.  Bahwa partai komunis tidak bisa hidup di Indonesia dan organisasi yang tidak berasaskan pancasila pun tidak punya hak untuk hidup di Indonesia. Pancasila adalah ideologi negara‎," ujar dia.
 
‎Dia mengaku telah berbicara dengan Presiden Joko Widodo mengenai isu komunisme tersebut. Dan Jokowi menyampaikan pandangannya.
 
"Kemarin Presiden dengan saya bincang-bincang panjang. Presiden menyampaikan statement sederhana, Pak Luhut itu kan pertikaian politik, untung yang menang TNI atau negara, kalau yang menang PKI habis juga kita dibunuh," tutur dia.
 
Kendati demikian, lanjut Luhut, negara tak bisa memungkiri tuntutan untuk penyelesaian tragedi 65. Namun Luhut tetap bersikukuh tak mau mengakui jumlah korban pembantaian massal mencapai 400.000 jiwa.
 
"Tapi kita tidak bisa juga ignore atau memungkiri bahwa kita hidup dalam suasana dunia global. ‎Kita harus menunjukkan kepada mereka, bahwa bangsa ini bukan bangsa pembunuh. Kita tidak sepakat bahwa jumlah yang mati tahun 1965 yaitu 400 ribu orang. Bahwa ada korban, iya, tapi jumlahnya jauh di bawah angka itu. Mungkin kita menyesalkan peristiwa tersebut, karena itu sejarah kelam bagi bangsa ini dan mungkin jadi salah satu pertimbangan kita," kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI