Suara.com - Aktivis Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran Usman Hamid menilai Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tidak kompak dengan Presiden Joko Widodo atas penyelesaian persoalan peristiwa 1965.
"Dia kan sempat menyatakan tidak menginginkan adanya rekonsiliasi terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM. Lalu, dia juga menyatakan yang menggelar simposium 65 tersebut akan membangkitkan kembali ideologi komunis di Indonesia. Ini kan kontraproduktif. Padahal Simposium itu yang menyelenggarakan Lemhanas dan menkopolhukam (Luhut Panjaitan)," kata Usman dalam diskusi di kedai Kekini, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (29/5/2016).
Menurut Usman sikap Menteri Ryamizard tidak sesuai dengan Nawa Cita yang digaungkan Presiden Jokowi ketika kampanye dulu yaitu ingin menyelesaikan semua masalah pelanggaran HAM.
"Jadi, kalau sudah tidak sejalan lagi, maka Presiden harus tegas untuk mencopot Ryamizard. Ini kan sudah tidak sesuai dengan konsep Nawa Cita yang terus digadang oleh Presiden Jokowi. Jangan dibiarkan hal-hal seperti ini dipertahankan," kata dia.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Imam Aziz menilai sampai saat ini pemerintah belum serius menuntaskan seluruh kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi dimasa lalu. Menurut dia, negara yang ingin maju seharusnya belajar dari kesalahan.
"Oke, ini tugas berat, tapi harus dilakukan karena merupakan amanat konstitusi dan prinsip kenegaraan. Ini juga komitmen reformasi. Tidak hanya peralihan kekuasaan satu dan yang lain tapi juga penyelenggaraan," kata Imam Aziz di kedai Kekini, Cikini.
Itu sebabnya, menurut dia, pemerintah harus menyelesaikan seluruh kasus pelanggaran HAM berat, baik yang terjadi pada tahun 1965, kemudian di Aceh hingga Papua.
Dengan demikian, kata dia, tidak ada lagi beban masa lalu yang menghambat perjalanan negara.
Ia berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla mampu mewujudkan harapan tersebut.
Sebelumnya, Ketua Setara Institute Hendardi menilai perbedaan sikap antara Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan perintah Presiden Joko Widodo atas penyelesaian persoalan peristiwa 1965 menunjukkan belum adanya kekompakan.
"Menggambarkan bahwa dalam tubuh pemerintah belum satu padu dalam memandang persoalan peristiwa 1965," kata Hendardi kepada Suara.com, Kamis (19/5/2016).
Sampai saat ini, katanya, Menhan masih melihat aspirasi pengungkapan kebenaran dan remedy bagi korban sebagai ancaman bagi ketahanan negara.
"Karena itu justru tindakan represif penanganan 'kebangkitan PKI' yang jadi pilihan kebijakannya," kata Hendardi.
Sedangkan Jokowi lebih melihat dimensi kemanusiaan sehingga jika betul-betul ada kemanusiaan yang diciderai di masa lalu, maka harus dipulihkan.
"Saya kira Jokowi perlu memimpin upaya-upaya ini sehingga tidak berbelok. Untuk membantu Presiden menjalankan kewajiban mengungkap kebenaran, Jokowi bisa membentuk Komisi Kepresidenan yang langsung di bawah kendalinya. Inilah yang dijanjikan Jokowi dalam Nawa Cita," kata Hendardi.