Suara.com - Belajar dari kasus perkosaan sadis YY, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pengganti Perundang-undangan (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Perppu ini dikenal dengan sebutan Perppu Kebiri.
YY adalah anak perempuan berusia 14 tahun yang tewas diperkosa 14 orang lelaki, April lalu. Di antara lelaki itu adalah anak dibawah umur. Kasus ini sudah ditangani pihak Polda Bengkulu. Semua tersangka sudah ditangkap dan diitetapkan menjadi tersangka.
Kasus YY memancing kemarahan publik, sehingga sejak April lalu ada wacana memberikan hukuman kebiri ke pelaku kekerasan seksual. Sebab kekerasan seksual, bukan hanya menghancurkan korban dan keluarganya, tetapi juga menghancurkan masa depan pelaku dan keluarganya. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat dalam kurun 10 tahun, terdapat 93 ribu kasus kekerasan seksual, 70 persen pelaku adalah anggota keluarga dan orang-orang dekat.
Komnas Perempuan menemukan kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi dalam kehidupan pribadi. Pelaku kebanyakan datang dari orang terdekat yang memiliki hubungan darah. Semisal seperti ayah, kakak, adik, paman, kakek, kekerabatan, suami, dan pacar.
Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin kaget dengan temuan komnas perempuan itu. Perempuan berkulit putih itu mengatakan pelaku kekerasan seksual yang merupakan orang terdekat mematahkan mitos rumah adalah tempat yang paling aman.
Di balik jumlah kekerasan seksual pada perempuan yang terus meningkat, justru akses hukum untuk menangani hal tersebut masih terhambat. Sehingga keinginan korban untuk mengadu atau melaporkan kasusnya minim. Akses untuk mendapat keadilan, dan memulihkan pun mandek.
“40 persen laporan di kepolisian tentang kekerasan seksual mandek. Karena perempuan yang melapor ditanya yang tidak-tidak, jadi mending menyerah tidak melaporkan lagi,” kata Mariana, Sabtu (29/5/2016) malam.
Komnas Perempuan menilai penerapan Perppu Kebiri bukan solusi untuk membuat ‘predator’ jera. Mariana menilai lebih baik pemerintah memikirkan cara memberikan perlindungan korban kekerasan seksual.
Mariana khawatir pemberlakuan Perppu semata-mata untuk merespon desakan emosional publik. Sebab dia menilai penegakan hukum di Indonesia masih belum baik.
“Cara pandang negara salah terhadap persoalan Kekerasan Seksual yang sudah lama terjadi, hanya sebagai persoalan penjeraan pelaku semata. Sementara faktor lain, seperti aspek yang menjadi penyebab perempuan dan anak rentan menjadi korban kekerasan, aspek pencegahan, pelayanan yang prima terhadap korban dan pemulihan tidak mendapat perhatian,” kata dia.