Suara.com - Kebijakan pelaporan kinerja via aplikasi Qlue ditentang sebagian ketua rukun tetangga dan rukun warga. Mereka yang menolak, lebih senang jangan pakai aplikasi tersebut karena dianggap menyusahkan.
"Setuju (kalau nggak ada Qlue). Lebih baik nggak ada Qlue Karena RW 3 juga sepakat menolak aplikasi itu. Nanti kita berencana tandatangan ngajuin ke kelurahan nanti tinggal ajuin ke wali kota biar nggak ada Qlue," kata Ketua RT 12, RW 1, Kelurahan Petojo Utara, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Yunda Merdania (33).
Menurut Yunda melaporkan kinerja tidak harus melalui aplikasi Qlue, tapi bisa dilihat dari laporan di kelurahan. Menurut Yunda, aplikasi tersebut menyusahkan.
"Kita kan kelihatan kerja di kelurahan, mereka kan tahu kerja kita bagaimana, yang penting kerja. Karena ribet kita mesti lapor ke Qlue, kita banyak kerjaan lain juga, masa tiga kali sehari lapor foto, kayak minum obat saja. Padahal nggak ngaruh gajinya," katanya.
Ketua RT 14, Sriwari, juga ikut menolak aplikasi Qlue. Menurutnya aplikasi tersebut tidak banyak pengaruhnya.
"Saya setuju saja, kalau banyak yang setuju (menolak Qlue). Karena pas kita lapor kegiatan kita atau masalah di wilayah kita, tidak ada tanggapan dari pemerintah," katanya.
Menurut dia, sistem baru ini juga tidak berpengaruh pada gajinya.
"Sama saja nggak ada pengaruhnya (gaji)," kata dia.
Sebelumnya, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengatakan untuk menarik minat RT dan RW di aplikasi Qlue, pemerintah memberikan poin. Setiap poin laporan di Qlue akan dihitung sebagai biaya opersional.
"Setiap laporan yang disampaikan ketua RT dihargai sebesar Rp10 ribu. Minimal dalam sehari RT dan RW melaporkan tiga permasalahan, berarti RT dan RW itu dapat Rp30 ribu, ini memang menjadi tugasnya," kata Ahok.