Suara.com - Mahkamah Agung mengakui kecolongan lagi. Hal ini menyusul operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Provinsi Bengkulu, Janner Purba, hakim PN Kota Bengkulu Toton, panitera PN Kota Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy. Mereka ditangkap karena diduga menerima uang suap dari mantan Kepala Bagian Keuangan Rumah Sakit Muhammad Yunus: Syafri Syafii, dan mantan Wakil Direktur Keuangan RS Muhammad Yunus: Edi Santroni, untuk melincinkan kasus yang ditangani Pengadilan Tipikor Bengkulu.
"Ya, memang kecolongan lagi. Memang MA harus mengevaluasi sistem pembinaan dan pengawasan yang selama ini berlaku," ujar Kepala Humas MA Suhadi dalam jumpa pers di gedung MA, Jalan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (25/5/2016).
Suhadi mengatakan selama ini MA sudah melakukan pengawasan dan pembinaan kepada seluruh aparatur pengadilan, baik di tingkat MA, pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi.
"Ketua pengadilan negeri, dia membina dan mengawasi hakim dan aparatur pengadilan dalam lingkup pengadilan yang bersangkutan. Ketua pengadilan tinggi sebagai bagian depan mahkamah di daerah telah mengawasi dan membina para hakim serta segenap aparatur yang ada di dalam daerah hakimnya, wilayah tingkat banding yang bersangkutan," katanya.
Di tingkat MA, ada badan pengawas yang mengawasi seluruh hakim dan aparatur pengadilan.
Selain itu, ketua MA, wakil ketua MA, baik yudisial maupun non yudisial, juga turut serta membina para hakim dan para aparatur pengadilan di bawahnya.
Suhadi mengatakan MA akan terus memperbaiki sistem pembinaan agar kasus tak terus terulang.
"Kami akan perbaiki sistem yang sedang berlaku. Dengan banyaknya kejadian seperti yang dialami sekarang akan ditinjau kembali dimana hal yang perlu diperbaiki dan disempurnakan," kata dia.
Janner Purba, Toton, Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy, dan Syafri Syafii serta Edi Santroni, ini sudah dijadikan tersangka.
Sebelumnya, pengamat hukum dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Bivitri Susanto menyebutkan ada 37 hakim dan panitera pengadilan yang terindikasi terlibat kasus korupsi.
"Analisis kami sebenarnya 35 nama, itu semua yang di proses KPK baik OTT maupun kena kasus suap korupsi. Tapi, yang terbaru ada dua, jadi total 37 hakim dan panitera yang diduga terlibat kasus suap korupsi. Namun 37 itu belum semua diputuskan oleh pengadilan," ujar Bivitri dalam diskusi yang bertajuk Mahkamah Agung dan Mafia Peradilan di MMD Initiative, Jalan Dempo nomor 3, Matraman, Jakarta.
Meski di internal hakim ada pelatihan bagi hakim dan panitera, pelatihan tersebut tidak berpengaruh besar pada perilaku sebagian dari mereka.
"Ada model pelatihan hakim, tapi tidak terkoneksi langsung dengan perilaku korupsi. Tapi masalah mafia peradilan tetap ada," katanya.
Bivitri meminta Mahkamah Agung benar-benar melakukan pembenahan internal. MA, katanya, juga harus membuka diri untuk bekerjasama dengan Komisi Yudisial dalam membersihkan mafia peradilan.
"Yang harus dilakukan adalah MA belum merespon dengan baik. MA harus bisa merespon dengan baik dan membuka diri dengan KY, karena KY memiliki peta dan solusi untuk membenahi MA," kata Bivitri.