Peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan pada Masa Persidangan V Tahun Sidang 2015-2016, DPR dihadapkan pada tiga prioritas agenda. Ketiga prioritas itu, yakni evaluasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016, tindak lanjut temuan BPK, dan tindak lanjut usul pemberhentian Wakil Ketua DPR yang diajukan oleh Fraksi PKS.
"DPR dan Pemerintah harus melakukan evaluasi tengah tahun berjalan terhadap Prolegnas Prioritas 2016. Tujuannya adalah agar DPR, Pemerintah, dan publik secara umum mendapatkan informasi aktual tentang capaian dan beban kerja penyelesaian Prolegnas Prioritas 2016. Evaluasi tidak hanya mengenai urusan menambah atau mengurangi jumlah RUU dalam daftar prioritas, tetapi juga dalam hal penetapan target pembahasan RUU yang paling realistis dengan tetap mempertimbangkan aspek kualitas proses pembahasan dan substansi RUU," kata Fajri dalam keterangan resmi, Selasa (24/5/2016).
Selain itu, masih terkait penyelesaian Prolegnas Prioritas 2016, DPR dan Pemerintah dalam waktu dekat akan memulai pembahasan RUU Wawasan Nusantara yang merupakan usul dari DPD. Terkait hal itu, DPR dan Pemerintah harus mengambil langkah yang sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 92/PUU-X/2012 dan 79/PUU-XII/2014. Kedua putusan itu mempertegas posisi DPD dalam beberapa hal, antara lain, yaitu keterlibatan wewenang DPD ketika mengajukan dan membahas RUU terkait otonomi daerah, pembentukan daerah, dan pengelolaan sumber daya alam. Proses pembahasan RUU Wawasan Nusantara nanti diharapkan tidak jauh berbeda dengan rapat-rapat penyusunan Prolegnas 2015-2019 dan Prioritas 2015 di mana DPD memiliki ruang aktualisasi kewenangan dan relasi kelembagaan dengan DPR dan Pemerintah yang semakin diakui.
Prioritas kedua adalah tindak lanjut temuan BPK. Sekjen DPR telah merespons temuan BPK terkait dugaan kunjungan kerja fiktif dengan segera mengumpulkan laporan pertanggungjawaban kunjungan kerja anggota DPR dari masing-masing fraksi. Hal itu menunjukkan bahwa ada alur pertanggungjawaban yang tidak sinkron antara sekretariat fraksi dengan Setjen DPR. Sekretariat fraksi belum secara maksimal menjadikan standar pengelolaan keuangan negara yang dijalankan di Setjen DPR sebagai acuan utama mereka. Akibatnya, BPK menemukan adanya laporan yang tidak memenuhi persyaratan sehingga sulit untuk diverifikasi.
"Harus ada tindak lanjut yang terlembagakan, terutama menegaskan kembali komitmen pimpinan dan sekretariat setiap fraksi untuk turut serta memastikan akuntabilitas penggunaan dana kunjungan kerja anggota DPR. Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, salah satu cakupan pemeriksaan BPK adalah pemeriksaan kinerja dan tujuan tertentu. Kewenangan itu bisa menjadi pintu masuk bagi BPK untuk mengidentifikasi kelemahan DPR dalam mempergunakan dana kunjungan kerja, termasuk ketika menyusun laporannya," jelas Fajri.
Temuan BPK tersebut seharusnya juga menjadi perhatian serius untuk mempertimbangkan kembali keinginan DPR mengelola anggaran kelembagaan secara otonom, seperti yang tertuang dalam dokumen Rencana Strategis DPR 2015-2019. Tuntutan yang sama berlaku pula pada program pembangunan daerah pemilihan.
Ketiga, usul pergantian Fahri Hamzah sebagai Wakil Ketua DPR merupakan kewenangan penuh fraksi. Proses pergantian Wakil Ketua pada prinsipnya tidak berbeda dengan proses pergantian atau rotasi pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya (seperti Komisi, Badan, dsb) yang sudah lumrah terjadi. Karena itu, proses pergantian tidak perlu tertunda dengan alasan diperlukannya kajian khusus. Selain itu, pergantian posisi Wakil Ketua DPR oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak berhubungan secara langsung dengan putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan provisi Fahri Hamzah terhadap tiga orang pimpinan PKS.
"Putusan sela itu tidak dapat mengintervensi usulan Fraksi PKS untuk memberhentikan Fahri Hamzah sebagai Wakil Ketua DPR, karena pemberhentian sebagai Wakil Ketua DPR tidak terkait dengan pemberhentian dari keanggotaan PKS. Langkah pimpinan DPR untuk menyegerakan pengajuan usulan PKS terhadap pemberhentian Fahri Hamzah sebagai Wakil Ketua DPR bukanlah persoalan siapa yang diberhentikan, tetapi merupakan persoalan kelembagaan DPR dalam upaya menegakkan peraturan internal lembaga negara. Oleh karena itu, apabila usulan pemberhetian itu tidak kunjung ditindaklanjuti, maka akan ada hubungan yang tidak harmonis antara unsur pimpinan di DPR dengan partai politik pendukungnya, yang akan berpengaruh negatif terhadap kinerja DPR secara kelembagaan," tutup Fajri.