Suara.com - Sebuah lembaga non pemerintah yang beraktivitas di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Save The Children mencatat banyak kekerasan terhadap anak di daerah ini. Paling banyak terjadi dalam lingkungan keluarga dengan capaian angka sekitar 93 persen.
"Anak sebagai aset keluarga dan bangsa telah menjadi korban kekerasan fisik dan mental dalam lingkungan keluarga sendiri," kata Manajer Program Families First Save The Children Andri Yoga di Kupang, Selasa (24/5/2016).
Tindakan kekerasan terhadap anak dalam lingkungan keluarga itu antara lain dilakukan orangtua, keluarga, atau orang yang dekat di lingkungan rumah yang bukan masuk dalam jejaring keluarga.
"Hasil monitoring dan evaluasi yang kami lakukan menunjukkan bahwa anak-anak di daerah ini rentan menjadi korban kekerasan justru terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah," katanya.
Dia mengatakan terdapat tiga kategori kekerasan terhadap anak yang terjadi di Kota Kupang pada 2016 yakni, anak berhadapan dengan hukum (ABH) sebanyak 29 kasus, anak terlantar delapan kasus dan anak balita sebanyak lima kasus.
"Jumlah anak bermasalah bisa jauh lebih besar karena belum semua terungkap ke permukaan," ujarnya.
Dalam hubungan dengan itu, pihaknya akan menjalin kerja sama dengan Dinas Sosial NTT untuk melakukan sosialisasi UU tentang Perlindungan Anak hingga ke desa-desa agar bisa memberi efek jera kepada orang tua dan keluarga.
Sementara itu, Kepala Rumah Perempuan Kota Kupang Libby Sinlaeloe mengatakan sebanyak 148 anak perempuan mengalami kekerasan seksual di Kota Kupang selama 2013-2015.
"Pelaku kekerasan seksual paling banyak berasal dari keluarga dekat korban yakni orang tua kandung, orang tua tiri, kakak, tetangga, dan pacar," katanya.
Kondisi ini tentu miris sekali karena anak perempuan akhirnya tidak aman lagi di tempat tinggalnya sendiri karena kekerasan seksual yang dialami justru berasal dari orang-orang yang dekat dengan mereka, katanya.
Libby yang telah lama berkecimpung dalam organisasi Rumah Perempuan sebagai sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus mendampingi korban kekerasan seksual anak di Kupang itu mengaku khawatir di masa mendatang, kasus kekerasan seksual terhadap anak akan terus meningkat.
Ia menyebut contoh kasus yang terjadi pada Yuyun di Bengkulu, bisa saja terjadi di Nusa Tenggara Timur, karena efek dari minuman keras.
"Yang kami temukan selama ini, hanya satu pelaku kekerasan seksual dengan hanya satu orang korban, namun yang terjadi sekarang malah beramai-ramai terhadap seorang korban. Ini sangat mengerikan," ujarnya.
Untuk mencegah hal itu, Rumah Perempuan bersama Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahrga, Dinas Kesehatan, dan Polres Kupang Kota telah menghasilkan sebuah draft tentang standar operasional penanganan kasus kekerasan seksual pada anak.
Standar operasional tersebut, antara lain mengatur tentang penanganan kesehaan psikologis anak, kampanye tentang kasus kekerasan seksual pada anak untuk meminimalisir persoalan serta mencegah terjadinya kasus serupa. (Antara)