Indonesia Corruption Watch (ICW) mendorong adanya reformasi tata kelola politik dan hukum sebagai refleksi dari 18 tahun perjalanan Reformasi 21 Mei 1998.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo dalam diskusi "Quo Vadis 18 Tahun Reformasi" di Jakarta, Jumat (20/5/2016), mengatakan reformasi tata kelola politik dan hukum tersebut bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah serius terkait korupsi yang terjadi pascareformasi.
Adnan mengatakan reformasi tata kelola politik berfokus pada perbaikan partai politik, terutama perbaikan sistem keuangan partai, rekruitmen kader, dan penguatan lembaga pengawas yang independen guna menegakkan hukum secara serius terhadap praktik politik uang.
"Pemilu menjadi ajang transaksional demi tujuan penguasaan secara formal arena kebijakan publik. Politik dikuasai sekumpulan orang yang ingin praktik eksploitasi dan korupsi antara elite birokrasi dan swasta tidak dipermasalahkan," kata dia.
Sementara itu, reformasi di bidang hukum dilakukan dengan menitikberatkan perbaikan institusi kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan.
"Fungsi penegak hukum punya kendala korupsi di lingkungannya sendiri. Meskipun ada upaya mereformasi, namun bidikannya di wilayah tidak substansial, seperti misalnya reformasi kepolisian pada aspek pelayanan publik. Tapi bagaimana dengan fungsi penegakan hukum mereka?," kata Adnan.
Selain reformasi tata kelola politik dan hukum, ICW juga menggarisbawahi mengenai penguatan jejaring masyarakat sipil guna mendorong proses demokratisasi yang lebih substansial.
Kemudian, Adnan juga menilai pemerintah belum terlalu memprioritaskan pemberantasan korupsi yang selama ini menjadi penghambat kesejahteraan rakyat.
Walaupun arah pemberantasan korupsi sudah ada, seperti rencana aksi nasional (RAN) pemberantasan korupsi, namun hal tersebut belum menghasilkan komitmen pemberantasan korupsi yang dibuktikan dengan indeks persepsi korupsi dan ketimpangan sosial di masyarakat.
Indeks persepsi korupsi Indonesia dalam enam tahun terakhir tidak mengalami perubahan yang signifikan dan koefisien gini berada di angka 0,41 pada 2015.
"Kalau pemberantasan korupsi berhasil, maka ketimpangannya berkurang karena ada pemerataan. Kenyataannya 'gap' orang kaya dan miskin makin lebar," kata Adnan.
Dia menyebutkan pula bahwa pemerintah saat ini memiliki fokus utama pada ekonomi dan infrastruktur, yang kemudian meninggalkan pekerjaan rumah memberantas korupsi.
"Padahal pekerjaan tersebut seharusnya digarap dalam situasi pemimpin dengan latar belakang tidak terlalu konflik kepentingan. Akan tetapi pada saat yang sama, 'power' Presiden tidak cukup mengendalikan struktur di bawahnya," kata Adnan. (Antara)