Suara.com - Komisi Kejaksaan RI ingin mempunyai wewenang lebih seperti Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Yudisial. Komjak ingin terlibat dalam memberikan rekomendasi nama untuk dipilih sebagai Jaksa Agung.
Selama ini Komjak hanya mempunyai wewenang sampai memberikan rekomendasi untuk jaksa-jaksa bermasalah. Wakil Ketua Komisi Kejaksaan, Erna Ratnaningsih menjelaskan keinginan lembaganya itu akan diusulkan lewat momentum pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI di DPR.
“Artinya kita bisa merekomendsikan Jaksa Agung yang benar-benar bisa menjalankan roda organisasi. Dan bisa meningkatkan kepercayaan publik,” kata Erna saat berbincang dengan suara.com di Kantor Komisi Kejaksaan RI, Selasa (17/5/2016).
Sebelumnya, berdasarkan hasil evaluasi akuntabilitas kinerja yang dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dibantu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 2015 terhadap 86 instansi pemerintah, menempatkan Kejaksaan Agung sebagai lembaga pemerintah dengan nilai terendah (50,02).
Dalam catatan akhir tahun 2015, Komisi Kejaksaan menerima 812 pengaduan. Jumlah pengaduan itu berkurang dibandingkan 2014 yang sebayak 920 aduan.
Sebanyak 630 pengaduan dibahas dan ditindaklanjuti. Komjak telah mengirimkan rekomendasi kepada Kejaksaan Agung sebanyak 187 rekomendasi. Pengaduan-pengaduan itu di antaranya terkait dengan perilaku yang tercela, indisipliner, tidak professional dan pelayanan yang kurang baik.
Erna menjelaskan masih banyaknya ‘jaksa nakal’, itu disebabkan masih banyaknya jaksa yang berpenghasilan tak sebanding dengan beban tugasnya. Jaksa seperti itu banyak terdapat di daerah terpencil.
“Tapi kita belum ada penelitian mengapa jaksa itu nakal dan melakukan tindakan tak prosedural. Bisa jadi karena tidak cukup gajinya. Di daerah ada jaksa yang harus naik perahu jika ingin datang ke sidang, bahkan sidang sampai malam. Jaksa juga sering pindah tempat, istri sama anak di daerah yang tidak satu kota. Kan ada cost yang harus dikeluarkan lebih untuk transportasi,” jelas Erna.
Namun Erna tidak tahu persis berasan rata-rata gaji jaksa saat ini. Dia menjanjikan Komisi Kejaksaan akan memperjuangkan gaji jaksa-jaksa yang masih kecil.
“Kalau misalnya hakim, gajinya cukup besar. Nah kesejahteraan jaksa ini harus diperjuangkan. Misalnya jaksa di daerah terpencil harus ada tambahan insentif,” paparnya.
Kritisi Karier Jaksa
Komisi Kejaksaan mengkritisi capaikan kinerja Kejaksaan Agung yang masih rendah. Khususnya di program reformasi birokrasi. Erna menjelaskan Kejagung belum mempunyai humas yang mampu merepresentasikan capaian-capaian yang sudah dicapai lembaga itu. Sehingga tidak banyak informasi positif soal Kejagung sampai ke masyarakat.
"Itu salah satu kelemehan. Ketika itu tidak disampaikan ke masyarakat, masyarakat tidak mengetahui laporan kinerja. Khusus yang program reformasi birokrasi ini satu-dua tahun ini memang jalannya stagnan," jelas Erna lagi.
Erna juga mengkritik soal sistem mutasi dan promosi di tubuh Kejaksaan Agung. Banyak posisi-posisi yang diisi oleh orang tidak tepat.
"Yang harus diubah, nggak semua posisi di Kejaksaan itu diisi oleh jaksa. Misal bagian perencaan atau umum semestinya diisi bukan seorang jaksa, tapi di luar kejaksaan. Karena ini posisi khusus. Sekarang kan semua itu jaksa, ini jadi masalah maka organisasi tidak jalan dengan baik," papar dia.
Menurut dia, proses mutasi yang baik bisa menguatkan kinerja Kejagung. Dia memberi contoh sistem mutasi yang ideal. Jaksa-jaksa yang pernah berkarier di Pengadilan Tindak Pindana Korupsi seharusnya bisa menguatkan Kejagung. Terutama di bidang tindak pidana korupsinya.
"Bagaimana skill yang ada di KPK bisa dimiliki kejaksaan. Tapi yang terjadi, sistem mutasi dan promosi tidak berdasarkan pada tujuan dan skill. Misal ada jaksa Tipikor yang disalurkan ke diklat begitu selesai di Tipikor," kata dia.