Suara.com - Tindakan aparat Kepolisian dan TNI yang menangkap warga yang memakai atribut seperti kaos berlambang palu arit dan merazia buku-buku marxisme dinilai terlalu berlebihan. Isu kebangkitan komunisme di tanah air yang dijadikan alasan aparat merupakan seperti khayalan yang jauh dari kenyataan.
Direktur Imparsial, Al Araf menjelaskan komunisme telah runtuh pasca perang dingin antara blok Amerika sebagai negara kapitalis bersama sekutunya melawan Unisoviet (kini Rusia) kelompok komunis. Unisoviet sebagai sentral partai komunis Internasional pun kalah. Negara komunis yang tersisa saat ini hanya segelintir, bahkan Korea Utara dan China juga telah berubah haluan menjadi kapitalis meski partai politiknya komunis.
"Jadi menurut saya komunisme sudah bukan menjadi ancaman yang serius dalam dinamika keamanan di dalam negara. Sehingga jadi berlebihan jika kita masih dalam bayang-bayang komunisme. Pasca Soviet runtuh, komunisme juga sudah runtuh. Jadi bangkitan komunisme adalah sebuah ilusi, masyarakat jangan terjebak dengan ilusi tentang kebangkitan komunisme itu," kata Al Araf di Kantor Staf Presiden, Komplek Istana, Jakarta, Senin (16/5/2016).
Menurut dia, kasus penangkapan aktivis HAM di Ternate karena mengenakan kaos bertuliskan PKI yang seolah merujuk Partai Komunis Indonesia, padahal tertulis PKI (pecinta kopi Indonesia). Tindakan aparat itu adalah kriminalisasi terhadap warga sipil. Begitu pula dengan pelarangan dan razia buku-buku yang dianggap berbau komunis, hal itu merupakan pengekangan hak warga untuk bebas berekspresi.
"Padahal buku itu menurut konstitusi, masyarakat boleh membaca buku apapun. Ini bagian dari kebebasan berpikir warga negara, tidak boleh dibatasi," ujar dia.
Maka dari itu, lanjut dia, polisi salah kalau memproses secara hukum orang yang membaca buku marxisme atau komunisme. Sebab di kampus orang membaca buku Karl Marx adalah bagian dari akademis, belum tentu orang yang membca buku itu menjadi bagian dari faham komunis. Malah bisa jadi dia mau menkritik ideologi tersebutu, artinya itu bagian dari kebebasan berpikir yang tidak bisa dikriminalisasi.
"Sama dengan kaos, sampai kaos munir yang menolak melawan lupa disita, itu kesalahan," jelas dia.
Isu Komunisme Sebagai Counter Pembongkaran Tragedi 1965
Dia menambahkan, isu komunisme seolah-olah dibangun sebagai bagian dari propaganda menutup mengungkap pelanggaran HAM berat tragedi 1965.
"setiap ada upaya mengungkap kasus kejahatan 1965, selalu ada counter propaganda terkait dengan kebangkitan komunisme. Ini sesuatu yang tidak baik dan tidak sehat. Upaya antisipasi ini dilakukan secara berlebihan dan tidak proporsional, ini terlihat dari keterlibatan tentara di dalamnya," terang dia.