Koalisi Sipil Desak Pemerintah Hentikan Eksekusi Mati

Senin, 16 Mei 2016 | 14:55 WIB
Koalisi Sipil Desak Pemerintah Hentikan Eksekusi Mati
Ilustrasi eksekusi mati. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Koalisi Masyarakat Sipil Anti Hukuman Mati dari berbagai lembaga swadaya audiensi Staf Kantor Presiden (KSP) di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (16/5/2016). Koalisi yang terdiri dari Kontras, Imparsial, YLBHI, Elsam, PBHI, LBH Masyarakat dan LBH Pers ini diterima oleh Staf KSP, Ifdal Kasim.

Mereka menuntut agar Pemerintah menghentikan rencana eksekusi mati tahap ketiga yang akan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

"Hari ini koalisi sipil anti hukuman mati bertemu dengan staf dari KSP, Pak Ifdal Kasim, dengan tuntutan koalisi meminta pemerintah menghentikan langkah eksekusi mati," kata Al Araf, Direktur Imparsial kepada wartawan.

Dia menjelaskan, alasannya ada sejumlah alasan mereka menuntut eksekusi terhadap terpidana mati dihentikan. Sebab, koalisi masyarakat ini menganggap eksekusi tidak layak diterapkan ditengah penegakkan hukum, khususnya sistem peradilan yamg korup.

"Kami menganggap bahwa eksekusi mati di tengah sistem sistem peradilan yang masih korup. Yang terbaru korupsi di MA (Mahkamah Agung), tentu menjadi sesuatu yang sangat rawan. Karena praktek rekayasa kasus dan korupsi mafia peradilan masih sangat kuas. Sehingga dugaan rekayasa kasus dan persoalan hukuman mati menjadi sangat rawan ketika diterapkan," ujar dia.

Menurut dua, jika eksekusi mati tetap dilakukan ditengah sistem peradilan yang buruk ini, maka jadi sangat sulit untuk dikoreksi jika suatu saat tarnyata eksekusi diterapkan pada orang yang salah. Sementara hukuman mati jika sudah dieksekusi tidak bisa dikoreksi," terangnya.

Dia memaparkan, ada fakta beberapa kasus menunjukkan, mereka yang divonis mati ternyata mengalami proses unfiar trial dalam mekanisme peradilan. Sebagai contoh, kasus Zulfikar Ali, warga negara Pakistan yang divonis mati mengami dugaan rekayas, sehingga tidak layak dieksekusi. Begitu juga dengan kasus terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane, warga Filipina yang diduga menjadi korban perdagangan manusia.

"Kami menganggap eksekusi mati tidak berikan korelasi yang positif dalam menurunkan angka kejahatan, artinya efek jera tidak terbukti. Eksekusi mati gelombang pertama dan kedua terhadap terpidana mati kasus narkotika tahun lalu, menurut data BNN angka narkotika justru mengalami peningkatan. Ini menunjukan eksekusi mati tidak efektif," jelas dia.

Oleh sebab itu, Pemerintah diminta melakukan evaluasi bahwa hukuman mati bukan jawaban untuk menurunkan tingkat kejahatan dan penyalahgunaan narkoba. Mereka mendesak Pemerintah menghentikan eksekusi mati dan menggantinya dengan hukuman seumur hidup.

"Apalagi saat ini pemerintah dan DPR sedang bahas revisi KUHP yang salah satu isunya menggeser pidana mati menjadi pidana pokok, serta prasyarat-prasyarat hukuman mati menjadi lebih diperketat. Tidak pantas di tengah proses pembahasan KUHP yang menjadi payung hukum pokok dalam pidana mati, lalu pemerintah melakukan rencana eksekusi," tandas dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI