Suara.com - Salah satu korban penyanderaan kelompok milisi di Filipina, nakoda kapal tunda, M. Arianto Misnan, menceritakan kronologis penyanderaan terhadap dirinya dan tiga rekannya.
Sebelum disandera pada 15 Maret 2016, kelompok Abu Sayyaf mendekati kapalnya sehabis Maghrib di perairan di daerah Ligitan.
Saat itu, Arianto bersama tiga rekannya sempat melawan. Tetapi, perlawanan tersebut tidak membuahkan hasil. Sebaliknya, gerombolan tersebut kian beringas dan sampai melepaskan tembakan.
"Kami lempari pakai pisau, alat pemadam kebakaran. Tapi tetap aja mereka terus melawan kami, akhirnya melepaskan tembakan ke kapal kami. Tembakan itu kena teman kami. Karena sudah begitu, kami pasrah nggak bisa berbuat apa-apa dari pada ada yang terluka lagi. Kami menuruti permintaan mereka," kata Arianto di Kementerian Luar Negeri, Pejambon, Jakarta Pusat, Jumat (13/5/2016).
Setelah itu, kata Arianto, gerombolan langsung naik ke kapal sambil terus memerintahkan ABK pindah ke speedboad.
"Ya terus kami turun karena takut. Mereka terus memperhatikan kami," katanya.
Mereka disandera di Sulu. Selama disandera, ABK sering diintimidasi. Mereka juga sering mendapatkan kekerasan fisik.
Arianto trauma sampai sekarang gara-gara kekerasan fisik tersebut.
"Kalau kekerasan fisik ngga terlalu sering tapi diintimidasi sering sekali," katanya.
Singkat cerita, dia bersyukur berkat upaya pemerintah dan berbagai pihak yang mendukung, berhasil membebaskan.