Suara.com - Pegiat Literasi Indonesia Anton Kurnia menolak tindakan aparat membredel dan menyita buku dengan alasan apapun, termasuk alasan menyebarkan komunisme.
"Ini perlu diingat pada 13 Oktober 2010, Mahkamah Konstitusi lewat putusan Nomor 6-13-20/PPU-VIII/2010 telah membatalkan UU No. 4/PNPS/1963 yang kerap dijadikan dasar bagi kejaksaan dalam membredel buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum," kata Anton di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (13/5/2016).
Anton menambahkan aparat kejaksaan baru bisa menyita atau membredel buku atau barang cetakan lain kalau sudah mendapat izin dari pengadilan.
"Aparat kepolisian atau militer, apalagi organisasi masa, tak punya hak untuk melakukan razia dan pemberangusan buku," ujar Anton
"Aparat keamanan harus bekerja secara profesional dan berkeadilan dengan menghormati hukum, prinsip demokrasi, dan hak azasi manusia," Anton menambahkan.
Anton mengatakan seharusnya tugas negara adalah mencerdaskan bangsa, termasuk melalui dukungan terhadap dunia literasi.
"Pemerintah seharusnya memberi akses terhadap rakyat untuk mendapatkan buku secara lebih mudah dan murah, bukan malah memberangus bibit-bibit, persemaian intelektual dengan melarang merazia, dan memberanguskan buku," kata Anton.
Maraknya penangkapan, pelarangan, pembubaran paksa, intimidasi terhadap hak warga untuk berkumpul dan berekspresi dengan menggunakan label-label tertentu terus menerus terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.
Organisasi sipil yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi menilai adanya upaya menciptakan musuh palsu. Yaitu seolah-olah berlawanan dengan kehendak rakyat. Caranya dengan menyebarkan kembali rasa takut terhadap komunisme dan lesbian, gay, biseksual dan transgender.
"Upaya-upaya ini justru dilakukan dengan melawan hukum yang merupakan wujud pengulangan sejarah kelam bangsa Indonesia di masa pemerintah otoriter Orde Baru yang nyatanya adalah musuh sejati," ujar perwakilan Gema Demokrasi, Asep Komarudin, dalam jumpa pers di gedung LBH Jakarta, Kamis (12/5/2016).