Suara.com - Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tak menyetujui ide membongkar kuburan massal korban peristiwa tahun 1965. Sebab, menurut dia, hal itu hanya akan memunculkan konflik baru.
"Justru itu. Bongkar-bongkar kuburan kalau semuanya marah, berkelahi semua," ujar Ryamizard di Balai Kartini, Jakarta, Jumat (13/5/2016).
Ide membongkar pemakaman massal sebenarnya bagian dari upaya untuk rekonsiliasi antara pemerintah dan korban 1965. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan sebelumnya mengatakan tidak tertutup kemungkinan negara akan meminta maaf apabila ada pengungkapan fakta-fakta yang menyebutkan terjadinya pembunuhan massal pascaperistiwa G/30/S/1965. Fakta-fakta itu, misalnya, dengan menunjukkan data mengenai kuburan massal yang ada di seluruh Indonesia. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 kemudian menyerahkan dokumen berisi lokasi-lokasi kuburan massal.
Ryamizard khawatir nanti terjadi pertumpahan darah lagi di Indonesia. Dia meminta jangan ada lagi pihak yang saling menghasut.
"Saya sebagai menhan tentunya menginginkan negara ini tidak ada ribut-ribut, tapi damai. Kalau Menhan ngajak ribut itu nggak bener. Saya selalu mengingatkan, saya tidak ingin ribut apalagi pertumpahan darah," katanya.
Ryamizard juga meminta masyarakat Indonesia untuk mewaspadai ancaman komunisme yang disebarkan dengan cara modern, misalnya menggunakan media sosial.
"Kemenhan berupaya untuk terus menggugah kesadaran agar waspada terhadap penyusupan salah satu dengan program bela negara. Kalau ada kecenderungan apa saja yang mengancam negara termasuk PKI, masyarakat segera melaporkan," kata dia.
Anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu mengatakan saat ini sudah tidak ada yang tertarik dengan ide komunisme. Jadi, pemerintah tidak perlu represif menangani aktivitas warga dengan berkumpul dan berekspresi.
"Generasi sekarang tidak lagi tertarik dengan komunisme. Paham Komunis 32 tahun itu pada masa Orba dilarang. Dan, kita semua sepakat negara kita kan pahamnya Pancasila. Jadi nggak perlu khawatir juga kita dengan fenomena munculnya buku buku yang dianggap kiri, baju-baju yang dianggap kiri. PKI sudah nggak ada kok, sudah dilarang kok sejak lama, kenapa paham kiri juga harus diberangus," kata Masinton.
Maraknya penangkapan, pelarangan, pembubaran paksa, intimidasi terhadap hak warga untuk berkumpul dan berekspresi dengan menggunakan label-label, seperti palu arit, akhir-akhir ini, menurutnya Masinton, justru menunjukkan adanya sikap paranoid. Artinya, takut pada hal-hal yang sebenarnya sudah tidak ada yang meminatinya.