Suara.com - Maraknya penangkapan, pelarangan, pembubaran paksa, intimidasi terhadap hak warga untuk berkumpul dan berekspresi dengan menggunakan label-label tertentu terus menerus terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.
Organisasi sipil yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi menilai adanya upaya menciptakan musuh palsu. Yaitu seolah-olah berlawanan dengan kehendak rakyat. Caranya dengan menyebarkan kembali rasa takut terhadap komunisme dan lesbian, gay, biseksual dan transgender.
"Upaya-upaya ini justru dilakukan dengan melawan hukum yang merupakan wujud pengulangan sejarah kelam bangsa Indonesia di masa pemerintah otoriter Orde Baru yang nyatanya adalah musuh sejati," ujar perwakilan Gema Demokrasi, Asep Komarudin, dalam jumpa pers di gedung LBH Jakarta, Kamis (12/5/2016).
Asep menambahkan cap kepada gerakan rakyat -- yang sebenarnya bekerja untuk demokrasi -- tidak ada kaitannya dengan penyebaran paham komunisme, marxisme, dan leninisme.
Menurutnya kelompok yang dituduh tersebut justru kelompok yang menyuarakan anti kapitalisme dan menolak manifes Orde Baru dalam iklim pembangunan demokrasi.
"Yang sebenarnya terjadi adalah menguatnya kembali orde baru dengan militerismenya. Hal ini terlihat dari upaya militer meminta dan juga dilibatkan untuk lebih berperan dalam penyelesaian atas masalah 'musuh rakyat," kata dia.
Asep juga menyinggung soal penangkapan dan intimidasi terhadap orang Papua yang selalu dicap separatis hingga puncaknya pada penangkapan 2.109 orang Papua pada 2 Mei 2016.
"Penghadangan dan pembubaran paksa terhadap kegiatan orang Papua juga hampir selalu terjadi yang mencoreng hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat orang Papua," kata Asep.
Gema Demokrasi menuntut Presiden Joko Widodo bertanggungjawab menjaga demokrasi sesuai dengan konstitusi.
"Jika ini tidak dilakukan artinya negara telah mengingkari Nawa Cita dan meruntuhkan bangunan demokrasi dan negara hukum Indonesia," kata dia.