Salah satu Tokoh Seni yang berada di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Marzuki mengaku sangat kecewa dengan putusan hakim, yang menghukum pelaku pemerkosaan terhadap seorang anak SMP, Yuyun (15) hanya dengan 10 tahun penjara.
Menurutnya, perbuatan tersebut sangalah keji, dan sewajarnya diganjar dengan putusan yang berat. Tidak tanggung-tanggung, dia meminta agar pelaku tersebut dipenjara selama 140 tahun.
"Saya tidak tahu apakah LSF(Lembaga Sensor Film) ini bekerja setelah film ditayangkan atau sebelumnya. Karena kalau sebelumnya, kenapa masih banyak film porno yang beredar. Masyarakat kita banyak yang senangnya menjiplak film, sehingga terjadilah kejadian yang menimpa Yuyun. Saya kecewa kenapa hanya dihukum 10 tahun, seharusnya mereka itu dihukum 140 tahun, karena pelakunya 14 orang dikalikan 10 tahun, jadi 14×10=140 tahun," kata Marzuki pada acara forum sosilaisasi Kebijakan LSF di Aula Pemerintah Kabupaten Donggala, Rabu(11/4/2016).
Kata Marzuki, film porno sangat mempengaruhi perkembangan manusia Indonesia dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, dia meminta kepada Majelis hakim yang memutiskan perkara pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur dapat ditindak tegas. Kata dia, seharusnya pelaku pemerkosa dan pembunuh Yuyun itu dapat dipenjara minimal selama 15 tahun, kalau memang tidak bisa 140 tahun.
"Minimal 15 tahun mereka itu dipenjara, kenapa hanya 10 tahun saja. Saya sangat mendukung LSF untuk melakukan sensor terhadap film yang tidak mendidik masyarakat dengan menampilkan adegan yang tidak menuntun masyarakat ke arah yang lebih baik," kata Marzuki dengan penuh emosional.
Menanggapi tanggapan tersebut, Ketua Komisi Bidang Penyensoran dan Dialog, Imam Suhardjo dalam acara yang bertajuk 'Masyarakat Sensor Mandiri Wujudkan Kepribadian Bangsa' tersebut mengamini pernyataan Marzuki yang mrngakui film porno adalah penyebab dari maraknya kejadian pemerkosaan selama ini. Namun, kata dia, tugasnya hanya bisa menjangkau film-film yang bisa ditayangkan di bioskop maupun di televisi. Sementara, kata Imam, saat ini begitu banyak film yang berdar secara online, yang oleh pihaknya tidak bisa dijangkau.
"Dalam proses penyensoran sebuah film itu, LSF hanya minta barang jadi. KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) bertugas untuk melihat televisi yang menayangkan. Persoalannya bahwa, kita itu hanya melihatnya bahwa apakah film tersebut sudah aman atau tidak, aman dari kekerasan,aman dari pornografi, aman dari narkoba, aman dari isu SARA(Suku, Agama, Ras dan antar Golongan). Sekarang banyak film online yang beredar, ribuan situs, itu bukan bidang kami, itu adalah bidang informatika, Kementerian Informatika," kata Imam.
Sementara itu, tokoh seni lainnya, Zulkifly Pagessa menagtakan bahwa sosialisasi LSF untuk mengedepankan Swasensor sangatlah penting. Karena, dengan begitu, sepenuhnya yang bisa menilai layak tidaknya sebuah film adalah orang yang menikmatinya.
"Dalam swasensor ini, sebenarnya kita yang memiliki pernanan penting. Kita sendiri yang bisa menentukan , kita yang memilih, mana yang baik, mana yang tidak baik, tentu berdasarkan usia kita sebagai penikmat film," kata lelaki yang juga berprofesi sebagai Sutradara Teater di Tanah Donggala tersebut.