Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tentang hukuman kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual, dikhawatirkan akan menimbulkan stigma negatif terhadap Indonesia. Timbuk kesan Indonesia menjadi negara darurat kekerasan seksual. Pasalnya, telah banyak perpu diterbitkan sebagai bentuk penyikapan terhadap suatu masalah.
"Secara prinsip saya menyatakan begini, Perppu tentang kebiri kalaupun itu dikeluarkan, itu mungkin hanya memberikan suatu isyarat bahwa pemerintah mempunyai keinginan untuk memberikan penghukuman yang lebih berat dan pemerintah komitmen untuk itu," kata Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, di Gedung Nusantara III, DPR, Jakarta, selasa (10/5/2016).
Hidayat mengkhawatirkan, Perppu tersebut hanya akan melahirkan kesan yang tidak baik bagi indonesia.
"Yang pertama, apakah semuanya harus melalui Perppu? Sebab kalau semuanya melalui jalur Perppu , khawatirnya Indonesia menjadi terkesan menjadi negara yang darurat, segala-galanya pakai Perppu," tutur Hidayat.
Menurut Hidayat, jika pemerintah serius menyikapi persoalan tersebut, maka bukan perpu yang diterbitkan, melainkan revisi terhadap undang-undang perlindungan anak.
"Harusnya menurut saya yang lebih mendasar, karena ini adalah negara hukum, sebagai pernyataan dengan undang-undang dasar kita pasal 1 Ayat 3, harusnya kalo pemerintah serius, pemerintah melalui kementeriannya segera mengajukan revisi terhadap undang-undang tentang perlindungan anak," kata Hidayat.
"Karena di dalam UU perlindungan anak-anak, kemudian tercermin dalam tuntutan dari jaksa, para jaksa di pengadilan di Bengkulu itukan maksimal tuntutannya 10 tahun," Hidayat menambahkan.
Rencana penerbitan Perppu tersebut, merupakan bentuk penyikapan atas tragedi yang menimpa Yuyun (14), pelajar kelas II SMP Negeri 5, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Bengkulu. Yuyun diperkosa oleh 14 pemuda usai pulang sekolah pada pertengahan April, dan setelah itu dibunuh.