Belakangan ini, aparat keamanan gencar menangkap warga yang mengenakan simbol palu arit atau identik dengan Partai Komunis Indonesia.
Seperti pada Selasa (3/5/2016) di Tanjung Riau, Sekupang, Batam, seorang warga mengenakan kaos merah dengan simbol palu arit ditangkap. Lalu, pada Minggu (8/5/2016) aparat gabungan Polda Metro Jaya dan Intelgab Kodam Jaya menangkap pemilik toko di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Penjual kaus berinisial MI dibawa ke kantor polisi lantaran menjual kaus bergambar palu arit. Sehari kemudian, Senin (9/5/2016), dua pemuda di Lampung berinisial UR dan RD juga ditangkap aparat TNI karena memakai kaos bersimbol PKI. Bahkan, yang terjadi di Bantul lebih menarik lagi, aparat gabungan Polres Bantul dan Intelgab Kodam Jaya mengamankan seekor ikan jenis louhan yang memiliki corak mirip logo palu arit.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 Bedjo Untung tidak terkejut.
"Ini kan, menjelang tanggal 23 Mei. Itu kan dimaknai kelahiran PKI. Biasanya, aparat keamanan, intelijen yang merekayasa," kata Bedjo kepada Suara.com, Selasa (10/5/2016).
Seperti pada Selasa (3/5/2016) di Tanjung Riau, Sekupang, Batam, seorang warga mengenakan kaos merah dengan simbol palu arit ditangkap. Lalu, pada Minggu (8/5/2016) aparat gabungan Polda Metro Jaya dan Intelgab Kodam Jaya menangkap pemilik toko di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Penjual kaus berinisial MI dibawa ke kantor polisi lantaran menjual kaus bergambar palu arit. Sehari kemudian, Senin (9/5/2016), dua pemuda di Lampung berinisial UR dan RD juga ditangkap aparat TNI karena memakai kaos bersimbol PKI. Bahkan, yang terjadi di Bantul lebih menarik lagi, aparat gabungan Polres Bantul dan Intelgab Kodam Jaya mengamankan seekor ikan jenis louhan yang memiliki corak mirip logo palu arit.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 Bedjo Untung tidak terkejut.
"Ini kan, menjelang tanggal 23 Mei. Itu kan dimaknai kelahiran PKI. Biasanya, aparat keamanan, intelijen yang merekayasa," kata Bedjo kepada Suara.com, Selasa (10/5/2016).
Sebab, kata Bedjo, tidak mungkin korban dan keluarga korban peristiwa 1965 membuat aksi-aksi semacam itu, apalagi ingin memprovokasi terjadinya kekacauan di tengah masyarakat dewasa ini.
"Tidak mungkin dan tidak akan, tidak pernah ada kelompok korban mau membuat chaos seperti itu. Tidak pernah ada. Kami ini kan fokusnya memperjuangkan korban yang telah terdiskriminasi sejak 50 tahun yang lalu," kata Bedjo.
Bedjo menambahkan YPKP 1965 selama ini juga mendapatkan laporan dari korban dan keluarga korban 1965 dari berbagai yang mendapatkan represi, ancaman, dan teror.
"Betul di berbagai daerah ada terjadi represi, ancaman, teror, dan itu juga kepada korban 65. Kami dapat laporan dari Pati, Pekalongan, Pemalang, Cilacap, sampai Jawa Timur," katanya.
Semua bentuk ancaman tersebut, kata Bedjo, telah dilaporkan YPKP kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan. Dan Luhut ketika itu akan memerintakan kodam untuk tidak bertindak berlebihan. Luhut berjanji akan mengawal dan ikut dalam aksi mengidentifikasi kuburan massal korban 1965.
"Kemarin kami adukan ke menkopolhukam bahwa semua isu itu rekayasa," kata dia.
Bedjo mengungkapkan korban YPKP memang diisukan mencetak kaos gambar palu arit. Bedjo memastikan itu tidak mungkin terjadi.
"Apalagi saya tahu persis, korban 1965 tidak mungkin cetak kaos. Itu memang diisukan, seolah-olah YPKP cetak kaos oblong palu arit," kata dia.
Seperti yang pernah terjadi di Cianjur, Jawa Barat. Ketika YPKP menyelenggarakan acara wisata lokakarya pada tanggal 14, 15, 16 Mei 2016. Belum sampai satu hari, acara tersebut dibubarkan kelompok intoleran.
"Padahal, kami di sana untuk menyikapi acara simposium nasional bertema Membedah Tragedi 1965 dari Aspek Kesejarahan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Mereka katakan, ini (YPKP) orang mantan PKI akan dirikan PKI lagi. Padahal sebenarnya tidak. Kami ini cuma orang-orangtua," kata Bedjo.
Di acara tersebut, kata Bedjo, intelijen juga menanyai perihal pembuatan kaos yang dibagikan di acara.
"Kaosnya warna hitam dan putih, bukan palu arit. Di kaos itu ada ilustrasi bergambar teman kami waktu ditahan dulu. Ilustrasi itu menunjukkan tangan tahanan politik diborgol di depan sel. Dan ada tulisan kembalikan hak kami. Itu saja," katanya.
"Inilah jadi alasan bagi intel datang ke beberapa teman kami yang datang ke sana (acara). Kami ceritakan apa adanya, apa salah kita bikin kaos acara," katanya.
Bedjo mengatakan aksi tersebut dilakukan oleh kelompok militer garis keras yang tidak ingin pemerintahan Presiden Joko Widodo menyelesaikan kasus 1965.
"Makanya dibuatlah seolah ada penolakan dari rakyat. Dengan dihembuskannya isu itu. Ini rekayasa dari militer garis keras untuk jegal Jokowi dalam upaya merehabilitasi korban 1965," kata Bedjo.
"Tidak mungkin dan tidak akan, tidak pernah ada kelompok korban mau membuat chaos seperti itu. Tidak pernah ada. Kami ini kan fokusnya memperjuangkan korban yang telah terdiskriminasi sejak 50 tahun yang lalu," kata Bedjo.
Bedjo menambahkan YPKP 1965 selama ini juga mendapatkan laporan dari korban dan keluarga korban 1965 dari berbagai yang mendapatkan represi, ancaman, dan teror.
"Betul di berbagai daerah ada terjadi represi, ancaman, teror, dan itu juga kepada korban 65. Kami dapat laporan dari Pati, Pekalongan, Pemalang, Cilacap, sampai Jawa Timur," katanya.
Semua bentuk ancaman tersebut, kata Bedjo, telah dilaporkan YPKP kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan. Dan Luhut ketika itu akan memerintakan kodam untuk tidak bertindak berlebihan. Luhut berjanji akan mengawal dan ikut dalam aksi mengidentifikasi kuburan massal korban 1965.
"Kemarin kami adukan ke menkopolhukam bahwa semua isu itu rekayasa," kata dia.
Bedjo mengungkapkan korban YPKP memang diisukan mencetak kaos gambar palu arit. Bedjo memastikan itu tidak mungkin terjadi.
"Apalagi saya tahu persis, korban 1965 tidak mungkin cetak kaos. Itu memang diisukan, seolah-olah YPKP cetak kaos oblong palu arit," kata dia.
Seperti yang pernah terjadi di Cianjur, Jawa Barat. Ketika YPKP menyelenggarakan acara wisata lokakarya pada tanggal 14, 15, 16 Mei 2016. Belum sampai satu hari, acara tersebut dibubarkan kelompok intoleran.
"Padahal, kami di sana untuk menyikapi acara simposium nasional bertema Membedah Tragedi 1965 dari Aspek Kesejarahan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Mereka katakan, ini (YPKP) orang mantan PKI akan dirikan PKI lagi. Padahal sebenarnya tidak. Kami ini cuma orang-orangtua," kata Bedjo.
Di acara tersebut, kata Bedjo, intelijen juga menanyai perihal pembuatan kaos yang dibagikan di acara.
"Kaosnya warna hitam dan putih, bukan palu arit. Di kaos itu ada ilustrasi bergambar teman kami waktu ditahan dulu. Ilustrasi itu menunjukkan tangan tahanan politik diborgol di depan sel. Dan ada tulisan kembalikan hak kami. Itu saja," katanya.
"Inilah jadi alasan bagi intel datang ke beberapa teman kami yang datang ke sana (acara). Kami ceritakan apa adanya, apa salah kita bikin kaos acara," katanya.
Bedjo mengatakan aksi tersebut dilakukan oleh kelompok militer garis keras yang tidak ingin pemerintahan Presiden Joko Widodo menyelesaikan kasus 1965.
"Makanya dibuatlah seolah ada penolakan dari rakyat. Dengan dihembuskannya isu itu. Ini rekayasa dari militer garis keras untuk jegal Jokowi dalam upaya merehabilitasi korban 1965," kata Bedjo.