Suara.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam keras Kepolisian Resor Kota Yogyakarta yang membubarkan acara perayaan World Press Freedom Day 2016 di Sekretariat AJI Yogyakarta, Senin malam (2/5/2016). Menurut AJI Jakarta, pembubaran tersebut menunjukan Kepolisian tidak memahami Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Kepolisian.
Padahal, menurut AJI Jakarta, kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat dijamin oleh undang-undang. “Polisi tidak menegakkan hukum tapi justru tunduk kepada kelompok intoleran dan antikebebasan. Tindakan polisi tidak bisa dibiarkan. Polisi gagal menciptakan rasa aman di Yogyakarta,” kata Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim di Jakarta (4/5/2016).
Alih-alih menjamin hak konstitusi warga negara untuk memperoleh informasi dan hak untuk menyebarluaskan informasi atau berekspresi, Kepolisian justru "tunduk dan patuh" pada sikap arogan serta intimidatif sekelompok organisasi masyarakarat yang antikebebasan.
Acara tersebut rencananya diisi dengan pentas musik dan pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta karya Rahung Nasution. Pagi hari sebelum acara, AJI Yogyakarta telah mengirim surat undangan ke Kepala
Kepolisian Daerah Yogyakarta Brigadir Jenderal Prasta Wahyu Hidayat dan Kepala Resor Kota Yogyakarta untuk menghadiri acara tersebut. Sorenya sejumlah polisi mendatangi Sekretariat AJI Yogyakarta dan
mereka menanyakan izin acara. Polisi menyatakan ada sejumlah kelompok yang tidak setuju dengan pemutaran film tersebut.
Singkat cerita, acara tersebut malam itu dibubarkan oleh Kepala Bagian Operasional Polresta Yogyakarta Komisaris Sigit Haryadi atas perintah Kapolda DIY. Puluhan massa yang berseragam FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra-putri TNI Polri) juga mengintimidasi panitia dan mendesak pembubaran acara. Panitia dipaksa membatalkan pemutaran film walau seratusan jurnalis dan aktivis telah siap untuk menonton. Acara diakhiri dengan menyanyikan Indonesia Raya dan Darah Juang.
Ini bukan kasus yang pertama terkait dengan film tersebut. Pada 16 Maret 2016 lalu, Kepolisian Sektor Menteng Jakarta juga mendesak panitia membatalkan pemutaran perdana Pulau Buru Tanah Air Beta di
Pusat Kebudayan Jerman Goethe-Institute Jakarta. Pemutaran film akhirnya dialihkan di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Tindakan polisi membubarkan acara tersebut sekaligus berpihak kepada kelompok antikebebasan telah mengancam kebebasan berekspresi dan hak berpendapat warga negara yang dijamin oleh Pasal 28 E ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal ini menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Bila sikap Kepolisian diteruskan, bukan tidak mungkin kelompok-kelompok antikebebasan makin kuat, makin berani, dan mengancam nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
AJI Jakarta menilai Kepolisian Resor Kota Yogyakarta tidak profesional menjalankan tugas. Pasal 1 dan 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dengan jelas menyebutkan Kepolisian bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. "Seharusnya polisi mengamankan acara tersebut, bukan malah membubarkannya," kata Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung dalam kesempatan yang sama.
Berkaitan dengan kasus pembubaran acara perayaan World Press Freedom Day 2016 di Yogyakarta, AJI Jakarta menyatakan: Pertama, mendesak Kepala Kepolisian RI mengevaluasi kinerja Kepala
Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Kepolisian Resor Kota Yogyakarta, dan Kepala Kepolisian Sektor Umbulharjo yang tidak mampu melindungi hak konstitusi warga negara yang melaksanakan kebebasan bereskpresi, berkumpul, dan berpendapat.
Kedua, mendesak Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X untuk mencopot Camat Umbulharjo yang ikut mendesak membubarkan acara tersebut. "Kami juga meminta Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X melindungi keberadaan sekretariat AJI Yogyakarta di lokasi yang saat ini ditempati," tutup Erick.