Pembubaran peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day (WPFD) 2016 yang digelar AJI Yogyakarta oleh Polisi Resort (Polres) Yogyakarta, mencoreng Indonesia di kancah internasional. Tindakan itu justru memperburuk ranking kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia. AJI Indonesia mengecam keras sikap kepolisian yang gagal memberikan rasa aman bagi terselenggaranya peringatan WPFD 2016 di Yogyakarta, yang juga dirayakan serentak di seluruh dunia.
"Di saat seluruh dunia memperingati Hari Kebebasan Pers, justru terjadi proses penginjak-injakan hak atas kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Yogyakarta. Ranking kebebasan pers Indonesia akan semakin terpuruk karena tindakan sekelompok orang yang memaksakan kehendak. Kelompok antipluralisme, intoleran ini seakan dibiarkan dan sehingga aksi mereka terus terulang,” kata Ketua Umum AJI Indonesia Suwarjono di Jakarta, Rabu (4/5/2015).
Suara.com - Apalagi, tindakan sewenang-wenang polisi itu terjadi setahun, sebelum Indonesia akan menjadi tuan rumah pelaksanaan World Press Freedom Day pada 2017 mendatang.
Suwarjono menambahkan, polisi gagal memberikan rasa aman warga negara yang menyelenggarakan kegiatan secara konsitusional.
“Pembubaran acara oleh kepolisian dengan alasan ada sekelompok masyarakat yang berbeda pendapat menunjukkan aparat kepolisian diskriminatif. Banyak aktifitas lainnya yang mati-matian dibela polisi. Dari penggusuran hingga acara pejabat negara, meski mendapat penolakan, demonstrasi kelompok masyarakat, tetap bisa berlangsung. Polisi menjaga, mengamankan aktifitas hingga selesai. Kenapa bila kami yang menyelenggarakan acara, dengan dalih ada penolakan sekelompok warga kami tidak dijaga. Justru dibubarkan,” kata Suwarjono.
Peristiwa pembubaran acara peringatan WPFD 2016 itu terjadi Selasa malam. Ketika itu, puluhan jurnalis dan aktivis gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta menggelar acara di sekretariat AJI Yogyakarta, di Jl. Pakel Baru UH 6/1124 Umbulharjo, Yogyakarta.
Pada Selasa sore, saat persiapan acara dilakukan, tujuh polisi berpakaian preman dari Polisi Sektor (Polsek) Umbulharjo, dipimpin oleh Kasatintelkam Polresta Yogyakarta, Kompol Wahyu Dwi Nugroho, didampingi oleh Anggota Koramil Umbulharjo, mendatangani sekretariat AJI Yogyakarta untuk menanyakan izin acara yang sedianya akan dihadiri oleh Kapolda DIY, Brigjend Polisi Prasta Wahyu Hidayat dan Kapolresta Yogyakarta, Prihartono Eling Lelakon.
Langkah polisi mempertanyakan hal perizinan itu adalah pintu masuk untuk mempersoalan rencana pemutaran film "Pulau Buru Tanah Air Beta," karya Rahung Nasution dalam acara itu. Pihak kepolisian meminta pemutaran film itu dibatalkan karena ada sejumlah kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan rencana itu. Ketua AJI Yogyakarta, Anang Zakaria menolak permintaan polisi, sembari menjelaskan, film "Pulau Buru Tanah Air Beta," adalah film dokumenter biasa.
Polisi menolak penjelasan itu, dan tetap bersikukuh agar acara itu dihentikan. Tekanan kepada AJI Yogyakarta sebagai penyelenggara kembali terjadi, beberapa saat setelah acara dibuka. Kepala Bagian Operasional Polresta Yogyakarta, Kompol Sigit Haryadi, datang ke lokasi acara dan menyelonong masuk untuk mencari penanggung jawab acara. "Kapolda DIY memerintahkan kegiatan ini harus dibubarkan," Kompol Sigit Haryadi.
Tak lama kemudian, datanglah puluhan massa dari salah satu organisasi massa di Yogyakarta. Kedatangan mereka memperkeruh suasana, karena berteriak-teriak di depan sekretariat AJI Yogyakarta. Massa melakukan provokasi dengan melontarkan tuduhan, acara itu disusupi kelompok partai terlarang. Saat kondisi semakin tidak terkendali, satu truk yang mengangkut polisi bersenjata lengkap, mendekati lokasi acara.
Di sela-sela kondisi yang semakin panas, Kompol Sigit Haryadi secara demonstratis meminta peserta peringatan WPFD 2016 untuk meninggalkan lokasi acara. "Kawan-kawan tamu yang diundang, silakan pergi meninggalkan tempat. Saya tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi setelah ini," kata Sigit, yang juga pernah melarang AJI Yogyakarta memutar film Senyap pada 2014 lalu. Namun, massa bergeming, dan tetap berada di lokasi.