Chief Office Kapal Tunda Brahma 12, Julian Philip, menceritakan detik-detik menjelang pembajakan terhadap sepuluh anak buah kapal di perairan Filipina yang dilakukan gerombolan milisi Abu Sayyaf.
"Pembajakan terjadi tanggal 25 Maret sekitar pukul 15.20 waktu setempat dan pada saat itu mereka datang ke kapal, langsung boarding di kapal dengan speed boat. Ada dua perahu. Jadi semuanya ada delapan orang yang naik ke kapal," kata Julian di auditorium gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri, Jalan Pejambon, Jakarta Pusat, Senin (2/5/2016).
Awalnya, 10 awak kapal Brahma 12 sama sekali tak menyangka kalau delapan orang yang naik ke kapal mereka merupakan perompak. Soalnya, orang-orang itu memakai seragam polisi Filipina.
"Kita tidak tahu orang-orang yang demikian. Jadi mereka pakai seragam nasional Police Phillippines. Jadi kita anggap sebagai petugas. Jadi mereka bawa senjata lengkap, mereka langsung sandera kita," kata Julian.
"Pembajakan terjadi tanggal 25 Maret sekitar pukul 15.20 waktu setempat dan pada saat itu mereka datang ke kapal, langsung boarding di kapal dengan speed boat. Ada dua perahu. Jadi semuanya ada delapan orang yang naik ke kapal," kata Julian di auditorium gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri, Jalan Pejambon, Jakarta Pusat, Senin (2/5/2016).
Awalnya, 10 awak kapal Brahma 12 sama sekali tak menyangka kalau delapan orang yang naik ke kapal mereka merupakan perompak. Soalnya, orang-orang itu memakai seragam polisi Filipina.
"Kita tidak tahu orang-orang yang demikian. Jadi mereka pakai seragam nasional Police Phillippines. Jadi kita anggap sebagai petugas. Jadi mereka bawa senjata lengkap, mereka langsung sandera kita," kata Julian.
Setelah naik ke kapal, gerombolan yang membawa senapan M14 dan M16 langsung beraksi. Sambil menodongkan senjata, mereka mengikat awak kapal.
"Lengkap dengan peluru yang besar-besar. Kita kesepuluh itu langsung disandera di atas dan langsung diikat. Ada yang diborgol dan diikat. Setelah itu kita mohon sama mereka agar supaya kita jangan diikat karena kita tidak akan lawan. Kita akan ikuti apa kemauan mereka. Di situ mereka setuju dan kita dilepaskan dari ikatan dan borgol," katanya.
Setelah kapal dikuasai, para pembajak membawanya ke perairan Tawi-Tawi. Di sana, awak kapal kemudian diminta melepas kapal tongkang yang ditarik kapal Bramha 12.
"Lengkap dengan peluru yang besar-besar. Kita kesepuluh itu langsung disandera di atas dan langsung diikat. Ada yang diborgol dan diikat. Setelah itu kita mohon sama mereka agar supaya kita jangan diikat karena kita tidak akan lawan. Kita akan ikuti apa kemauan mereka. Di situ mereka setuju dan kita dilepaskan dari ikatan dan borgol," katanya.
Setelah kapal dikuasai, para pembajak membawanya ke perairan Tawi-Tawi. Di sana, awak kapal kemudian diminta melepas kapal tongkang yang ditarik kapal Bramha 12.
"Jadi tongkang kita itu langsung dilepaskan saja, kapal diarahkan ke daerah Tawi-tawi. Jadi di sebelah utara Tawi-Tawi kapal itu langsung ditinggalkan gitu saja dan kita disuruh naik ke speed boat," kata Julian.
Selanjutnya, mereka diturunkan dari kapal dan naik speed boat. Korban pun tak tahu lagi dibawa ke daerah mana. Mereka hanya tahu itu mereka diajak mendarat ke sebuah pulau dan masuk ke hutan.
Di dalam hutan itulah mereka hidup berpindah-pindah selama sekitar sebulan.
"Hari keempat kita dipisah demi keamanan mereka. Karena kalau kita moving dari satu tempat ke tempat lain itu kan membahayakan kita juga. Jadi masalah keamanan itu juga dijaga sama mereka. Karena mereka enggak mau para sandera ini ada yang meninggal, atau mungkin juga pikir mereka kalau ada satu orang yang meninggal mungkin uang itu tidak dapat," katanya.
Selama ditawan, kesepuluh awak kapal mengaku diperlakukan dengan baik oleh milisi. Mereka mengaku mendapatkan makan sama seperti makanan yang dimakan milisi.
Selama penyanderaan, kelompok milisi meminta Indonesia membayar uang tebusan sebesar 50 juta Peso atau sekitar Rp14,2 miliar sebagai syarat pembebasan.
Sampai akhirnya, korban dibebaskan pada Minggu (1/5/2016) kemarin. Semalam, mereka tiba di Jakarta. Saat ini, mereka sudah diserahkan Kementerian Luar Negeri RI ke keluarga masing-masing.