Hak Pekerja Media Minim, Mutu Produk Jurnalisme Dipertaruhkan

Siswanto Suara.Com
Minggu, 01 Mei 2016 | 11:12 WIB
Hak Pekerja Media Minim, Mutu Produk Jurnalisme Dipertaruhkan
Aksi jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI). [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dengan dalih sebagai pekerja profesional, pekerja media kerap tidak mendapatkan haknya. Untuk itu, Forum Pekerja Media menyerukan agar pekerja media mengorganisasi diri dalam bentuk serikat. Selain meperjuangkan haknya, serikat buruh akan menjadi wadah untuk menyerukan aspirasi sebagai bagian dari kelas pekerja.

Para pemilik media sering menggunakan dalih pekerja media melayani masyarakat sembari memerah keringat demi laba. Pekerja media kerap bekerja lebih dari 8 jam tanpa mendapat uang lembur. Padahal, Pasal 78 Ayat 2 UU Tenaga Kerja mewajibkan pengusaha, “wajib membayar upah lembur.” Memerah pekerja media dengan kerja panjang merupakan alasan untuk meminimalisir jumlah pekerja. Ujung-ujungnya, ongkos produksi turun dan laba semakin menggunung.

Selain dalih profesionalisme, pekerja media juga tidak mendapatkan hak karena munculnya hubungan kerja kemitraan.

Ketua Umum AJI Indonesia Suwarjono menyoroti hak-hak pekerja media yang sering disebut dengan istilah kontributor. Menurutnya, perusahaan media menganggap kontributor bukan sebagai pekerja karena dianggap tidak punya hubungan kerja dengan perusahaan. Seringkali hubungan kerja antara kontributor dengan perusahaan media dibuat samar dengan dalih “kemitraan.” Kondisi itu membuat posisi kontributor rentan dilanggar hak-haknya sebagai pekerja.

Dari pantauan AJI, Suwarjono mengatakan 39 persen kontributor tidak mendapat program jaminan sosial yang digelar BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dan 44 persen kontributor mengaku tidak punya asuransi kesehatan swasta. Parahnya, 22 persen kontributor yang disurvei menerima upah di bawah upah minimum. Akibatnya, kontributor mencari
penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

“Kondisi pekerja media sama seperti buruh pada umumnya. Untuk itu pekerja media harus berserikat untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai pekerja,” ujar Suwarjono.

Forum Pekerja Media menyerukan agar pekerja media berserikat untuk memperkuat posisi tawar. Survei yang dilakukan AJI tahun 2015 menunjukan dari 2.300 perusahaan media hanya ada 24 serikat pekerja yang aktif.

“Pekerja media harus berserikat untuk memperkuat posisi tawarnya di perusahaan,” kata Ketua Federasi Pekerja Media Independen Abdul Manan.

Dengan serikat, pekerja media dapat meningkatkan perbaikan kesejahteraan dengan tuntutan upah sektoral serta pembentukan struktur dan skala upah. Upah sektoral mensyaratkan adanya perundingan antara federasi pekerja media dengan asosiasi pengusaha media sebagaimana diatur dalam Permenakertrans pasal 11 Nomor 7 Tahun 2013. Selain itu, pekerja media dapat mendesakan struktur dan skala upah pada media.

UU Ketenagakerjaan mengamanatkan pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi.

“Upah minimum hanya ditujukan untuk pekerja yang masa kerjanya kurang dari satu tahun. Untuk pekerja yang lebih dari satu tahun patokannya bukan lagi upah minimum tapi mengacu struktur dan skala upah,” ujar Ketua Serikat Pekerja Kesejahteraan Karyawan Chandra.

Chandra menambahkan Forum Pekerja Media juga mengecam upaya pemberangusan serikat pekerja di media. Kebebasan berserikat merupakan hak yang dijamin dalam UU Nomor 21/2000 tentang Serikat Pekerja. UU itu menyebut mutasi dan pemecetan terhadap para pengurus dan anggota serikat pekerja sebagai bentuk pemberangusan dan diancam dengan pidana hingga lima tahun dan denda Rp500 juta.

Berkaitan dengan itu, Forum Pekerja Media juga mendesak pemerintah turut mendesak pemenuhan hak-hak pekerja media tersebut. Forum Pekerja Media mendesak perusahaan media untuk patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama di bidang ketenagakerjaan.

Pemerintah pun diharapkan melakukan pengawasan yang serius dan melakukan penegakan hukum atas setiap pelanggaran.

Rendahnya pemenuhan hak-hak pekerja media itu berdampak pada profesionalisme. Misalnya, dengan upah yang tidak layak seorang jurnalis tidak bisa diharapkan menghasilkan produk yang berkualitas dan rentan amplop. Melihat praktik di negara maju, produk jurnalis yang baik itu baru bisa dihasilkan jika kesejahteraan jurnalis juga baik.

“Kalau pekerja media kesulitan memenuhi kebutuhan hidup setiap hari bagaimana mereka
bisa bekerja profesional?” ujar Gofur.

Forum Pekerja Media juga mendukung aksi penolakan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan. PP tersebut memberangus hak berunding buruh dalam menentukan upah. Forum Pekerja Media juga mengecam kekerasan untuk meberangus hak kebebasan berbicara. Pemberangusan ini terjadi terutama oleh kepolisian ketika mengkriminalkan 26 aktivis. Sebanyak 23 buruh, 2 pengacara LBH Jakarta, dan satu mahasiswa menjadi dikriminalkan dengan Pasal karet 216 dan 218 KUHP tentang melawan aparat.

“Kriminalisasi demonstrasi merupakan ancaman nyata kebebasan berbicara,” kata Lukman Hamdun, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Pers.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI