Koalisi Masyarakat Sipil Kritik RUU Terorisme

Jum'at, 29 April 2016 | 13:42 WIB
Koalisi Masyarakat Sipil Kritik RUU Terorisme
Konferensi Pers Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik RUU Terorisme, di Jakarta, Jumat (29/4/2016). [Suara.com/Erick Tanjung]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Imparsial dan LBH Pers mengkritik sikap DPR yang memaksakan pembentukan panitia khusus (Pansus) RUU tindak pidana terorisme pasca ada usulan Pemerintah untuk pembahasan bersama RUU tentang perubahan atas UU pemberantasan tindak pidana terorisme.
 
Ketentuan yang ada dalam rancangan UU tersebut melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) yang dianut dalam berbagai instrumen, seperti Deklarasi Universal HAM, Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICEAFRD).
 
‎"Dalam draft RUU Tindak Pidana Terorisme yang diajukan Pemerintah tersebut kami melihat ada beberapa hal berpotensi melanggar HAM, misalnya terkait penangkapan," kata Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil Politik Kontras, Putri Kanisia dalam konfrensi pers di kantor Kontras, Jalan Kramat II, Senen, Jakarta, Jumat (29/4/2016).
 
Dalam draft tersebut, kewenangan penangkapan bertentangan dengan KUHAP. RUU ini memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penangkapan kepada orang yang diduga kerass melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu 30 hari.
 
"Padahal nomenklatur hukum di Indonesia tidak mengenal status hukum terduga sebagaimana diatur dalam RUU ini. KUHAP mengatur bahwa penangkapan dapat dilakukan dalam waktu satu hari dan penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa berdasarkan bukti yang cukup," ujar dia.
 
Sementara itu, Putri mendesak DPR ‎agar membahas RUU Terorisme ini secara transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil serta menerima masukan publik.
 
"Tuntutan kami bagaimana DPR membuka ruang kepada masyarakat sipil untuk memberikan suara mengenai RUU tindak pidana terorisme ini," terang dia.
 
‎Peneliti Imparsial, Gufron Mabrori menambahkan, pasal-pasal dalam RUU tersebut mengabaikan korban. Hak-hak korban sama sekali tidak diatur dalam RUU ini.
 
"Kami melihat RUU ini berpretensi‎ pelanggaran terhadap korban," kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI