Moratorium Reklamasi Bukan Solusi, Ini Alasan Pemerhati Kelautan

Ruben Setiawan Suara.Com
Rabu, 27 April 2016 | 01:01 WIB
Moratorium Reklamasi Bukan Solusi, Ini Alasan Pemerhati Kelautan
Nelayan Muara Angke tolak proyek reklamasi di Teluk Jakarta [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Organisasi pemerhati kelautan dan lingkungan, Center for Ocean Development and Maritime Civilization (Commit) menilai moratorium sementara reklamasi Teluk Jakarta tidak menyelesaikan permasalahan.

"Moratorium sementara reklamasi Teluk Jakarta hanya untuk memenuhi kegelisahan publik, tapi tidak menghentikan dan menyelesaikan masalah," kata Direktur Eksekutif Commit Muhamad Karim dalam siaran pers yang diterima Antara di Bogor, Selasa.

Ia mengatakan, jika reklamasi terus dilakukan akan terjadi ketidakadilan ruang dan menutup akses bagi nelayan dan masyarakat pesisir yang hidup di kawasan Teluk Jakarta yang berimplikasi pada ketidakadilan ekonomi dan sosial.

Reklamasi ada yang bermanfaat atau bernilai positif seperti reklamasi pascatambang untuk memulihkan kawasan yang sudah gundul atau menjadi lubang/danau akibat kegiatan pertambangan, seperti tima dan bauksit yang banyak terjadi di Kepulauan Riau.

"Contohnya, lahan pascatambang tima di Pulau Singkep Kepulauan Riau direklamasi dengan cara dihijaukan kembali dengan tanaman-tanaman produktif seperti karet yang dapat dikelola oleh petani," katanya.

Contoh lain reklamasi yang positif di Pulau Nipah Kepulauan Riau. Pulau yang merupakan titik batas antara Indonesia dan Malaysia. Sebelum reklamasi pulau nyaris hilang akibat aktivitas pengambilan pasir laut untuk mereklamasi Singapura terutama perluasan Bandara Changi.

"Jika tidak direklamasi, maka batas negara Indonesia dan Singapura bakal hilang dan kedaulatan negara bisa terganggu karena Singapura akan mengajukan klaim baru batas maritim," katanya.

Menurut Karim, jika reklamasi Teluk Jakarta dihentikan total, ada beberapa opsi yang dapat dilakukan Pemerintah DKI Jakarta, yakni lahan yang sudah terlanjur diurug dengan pasir laut bisa ditanami hutan mangrove agar menjadi kawasan jalur hijau untuk melindungi kawasan pesisi Teluk Jakarta dari ancaman kenaikan muka air laut, rob dan instrusi air laut.

"Jenis mangrove yang ditanam seperti Avicennia spp (api-api) lebih senang hidup pada tanah berpasir agar keras, atau Pidada yang hidup pada tanah berlumpur lembut," kata Karim.

Penghentian permanen reklamasi Teluk Jakarta sangat diperlukan mengingat dampak ekonomi dan ekologi dan sosial yang ditimbulkannya. Kalau tetap dilanjutkan akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah karena setiap daerah akan melakukan hal serupa dan urusan perizinan serta peraturannya belakang.

"Ini tidak memberikan kepastian hukum, pembangunan bukan solusi bagi kesejahteraan tapi hanya sekedar mengakomodir kepentingan segelintir orang sekalipun mengambaikan peraturan perundangan," katanya.

Karim mengingatkan, UU Nomor 23/2014 yang berlaku 2017 mendatang bisa menjadi batu sandungan jika Pemda DKI Jakarta tetap "ngotot" akan melanjutkan reklamasi. Atau, benar-benar menghentikan karena kewenangannya atas wilayah laut sejauh hingga 12 mil.

"Artinya, Pemda DKI Jakarta bisa melakukan aktivitas apapun di wilayah teritorialnya. Bagaimana nasib nelayan jika reklamasi berlajut, akan semakin terpuruk meskipun UU Nomor 7/2016 sudah disahkan," kata Dosen Bioindustri Universitas Trilogi, Jakarta ini.

Ahmad Moni dari Small Island Network (Seanet) menambahkan, reklamasi Teluk Jakarta tidak sama dengan kasus reklamasi pascatambang di Pulau Nipah dan Pulau Singkep yang dilakukan untuk menyelamatkan batas wilayah yang rusak dan hampir hilang.

"Reklamasi Teluk Jakarta bukan untuk memperbaiki lahan rusak atau pulang nyaris tenggelam, tetapi untuk membangun pulau-pulau palsu sebagai kawasan bisnis baru, perubahan dan perdagangan," katanya.

Karena itu, reklamasi Teluk Jakarta lebih beorientasi kepentingan bisnis semata, dengan mengabaikan ekologi, sosial dan keruangan.

Ia mengatakan, ada banyak solusi yang dapat dilakukan untuk Teluk Jakarta, seperti menjadikan bekas lahan reklamasi menjadi "breal water' atau "groin" untuk melindungi pantai dari abrasi yang semakin mengkahawatirkan.

Bisa juga menjadi kawasan lindung yang melibatkan nelayan tradisional untuk ikut bersama-sama menjadi pengelola lingkungan di kawasan yang sangat memungkinkan dapat menjadi kawasan wisata berbasis hutan mangrove beberapa tahun akan datang.

"Jika mangrove tumbuh dengan baik di kawasan reklamasi tersebut, akan hidup sumber daya ikan, kepiting dan udang melimpah. Mangrove menjadi media jebakan sedimen untuk mengurangi dampak buangan limbah di Teluk Jakarta," katanya. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI