Suara.com - Kelompok buruh perempuan mencatat belum mendapatkan hak maksimal sebagai pekerja di perusahaan atau pabrik tempat mereka bekerja. Ini merupakan pelanggaran hak-hak maternitas ibu buruh dan juga diskriminasi di tempat kerja.
LSM pemerhati hak perempuan, Perempuan Mahardhika mencatat kasus-kasus pelanggaran hak-hak maternitas ibu buruh masih banyak terjadi. Hak maternitas merupakan pelayanan keperawatan profesional yang ditujukan kepada wanita usia subur yang berkaitan dengan masa diluar kehamilan, masa kehamilan, masa melahirkan, masa nifas sampai enam minggu, dan bayi yang dilahirkan sampai berusia 40 hari beserta keluarganya.
Koordinantor Departemen Politik dan Kampanye LSM Perempuan Mahardhika, Dian Novita menjelaskan pemenuhan hak-hak maternitas perempuan merupakan bagian penting dari perjuangan buruh.
Dia mencatat di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung terdapat kurang lebih 80 perusahaan dari sektor garmen. Di sana mempekerjakan sekitar 80.000 orang dengan jumlah buruh perempuan mencapai 90 peren.
“Tetapi sebagian besar pabrik tidak menyediakan ruang menyusui (Laktasi). Ketiadaan ruang laktasi memaksa para Ibu membuang ASI ke toilet, atau bahkan ditahan berjam-jam ketika bekerja dan merembes kepakaian mereka. Situasi ini juga berdampak pada bayi, yaitu tidak memperoleh ASI Eksklusif setidaknya dalam masa 0-6 bulan,” kata Dian dalam pernyataannya di LBH Jakarta, Selasa (26/4/2016).
Menurutnya, situasi yang sama terjadi di perusahaan lain. Misal tidak tersedia fasilitas untuk ibu hamil. Ini membuat buruh ibu sangat rentan mengalami keguguran terutama di awal kehamilan.
Kata Dian lagi, pelanggaran hak maternitas ini tidak saja terjadi di lingkup industri, tapi juga di lembaga pemerintahan. Seorang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dituntut harus menandatangani Surat Pernyataan tidak akan hamil selama menjadi CPNS. Tindakan itu melanggar hak maternitas perempuan dan menyebabkan praktek diskriminasi berkelanjutan pada CPNS tersebut.
“Niken, seorang Ibu sekaligus CPNS di lembaga pemerintah yaitu BKKBN, mengatakan sempat menandatangani surat pernyataan yang salah satu isinya yaitu Pernyataan tidak hamil selama menjadi CPNS,” cerita Dian.
Menurut Dian peristiwa itu bertentangan dengan UU HAM No.39 tahun 1999 No. 49 ayat (2), tentang pemenuhan hak atas perlindungan khusus bagi perempuan berkenaan dengan fungsi reproduksinya.
Maka itu Dian mendesak pemerintahan Joko Widodo segera meratifikasi Konvensi ILO No.183 tahun 2000 yang menjelaskan standar komprehensif perlindungan hak maternitas. Selain itu memastikan adanya keputusan bersama tentang perlindungan maternitas diantara 3 kementrian. Yaitu Kementrian Ketenagakerjaan, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementrian Kesehatan.