Suara.com - Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia unjuk rasa menentang pembuatan 17 pulau di Teluk Jakarta, di depan Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (20/4/2016) siang. Sebagai bentuk protes terhadap reklamasi, mereka ingin menyerahkan ikan laut yang telah dibungkus pakai plastik kepada Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Hari ini banyak ikan-ikan yang mati, inilah simbolis reklamasi busuk, emang kata Ahok itu ikan tidak ada di teluk Jakarta, itu bohong," kata koordinator aksi, Bagus Tito Wibisono.
Bagus menambahkan ikan yang dibungkus plastik tersebut merupakan simbol betapa sekarang ini kehidupan nelayan tradisional di Muara Angke sulit, terutama sejak ada reklamasi.
"Penyerahan ikan ini bentuk simbolis jika susahnya para temen nelayan mencari ikan," kata dia.
Bagus menilai proyek 17 pulau buatan bukan untuk kepentingan masyarakat, terutama para nelayan, melainkan kalangan orang kaya.
"Reklamasi itu kita tidak tahu untuk apa. Jadi indikasi reklamasi ini untuk siapa. Jelas ini bukan untuk rakyat Indonesia, masyarakat pesisir selama ini krisis air bersih," kata dia.
Kemarin, aksi serupa juga dilakukan Komunitas Nelayan Tradisional, Mereka mendatangi Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (19/4/2016), untuk menuntut Ahok menghentikan proyek reklamasi untuk selama-lamanya. Proyek tersebut dinilai sudah menyengsarakan kehidupan mereka.
"Itu ikan yang kita tangkap tidak tercemar, kalau ikan yang sudah tercemar dia nggak nempel di jaring, mendem ke tanah," kata nelayan Muara Angke, Saefudin.
Dalam aksi, mereka meminta Ahok untuk mencicipi hasil tangkapan ikan nelayan.
"Ini ikan seger, kalau perlu agar dia (Ahok) nyicipin, bila perlu kalau mau di goreng bareng-bareng kita makan bareng-bareng, biar kita tunjukin. Saya pengin Ahok cabut izin reklamasi," kata dia.
Proyek reklamasi sekarang ini sedang dihentikan untuk sementara waktu sampai semua perizinan dipenuhi. Tetapi nelayan tidak mau, mereka ingin dihentikan selamanya.
Pernyataan Donal terkait operasi tangkap tangan KPK terhadap Sanusi pada Kamis (31/3/3016) malam. Ketika itu, dia masih menjabat Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra. Dia diduga menerima suap senilai Rp2 miliar dari Personal Assistant PT. Agung Podomoro Land (Tbk) Trinanda Prihantoro. Uang tersebut diduga titipan dari Presiden Direktur PT. Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja.
Sehari setelah itu, Jumat (1/4/2016), Ariesman Widjaja menyerahkan diri ke KPK.Ketiga orang ini telah ditetapkan menjadi tersangka dan KPK terus mendalaminya.
Sejauh ini, KPK juga telah mencekal ke luar negeri beberapa pihak, di antaranya, Bos PT Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan, dan Staf Khusus Gubernur Basuki Tjahaka Purnama (Ahok) Sunny Tanuwidjaja.
Kasus dugaan penyuapan ini disinyalir untuk mempengaruhi proses pembahasan raperda tentang reklamasi. Ada tiga kewenangan pengembang yang diatur dalam rancangan. Yakni, keharusan menyerahkan fasilitas umum dan sosial, seperti jalan dan ruang terbuka hijau, kontribusi lima persen lahan, serta kontribusi tambahan sebesar 15 persen untuk menanggulangi dampak reklamasi.
Pengembang diduga keberatan dengan kontribusi tambahan 15 persen yang diatur di Pasal 110 Raperda Tata Ruang. Mereka pun melobi DPRD agar nilainya turun jadi lima persen.
Setelah aroma suap tercium, DPRD DKI Jakarta langsung menghentikan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tersebut.
Setelah aroma suap menyeruak kemana-mana, KPK memeriksa belasan orang dari DPRD, pemerintah, dan pengembang. Beberapa orang juga telah dicekal.