Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengakui adanya kelalaian yang dilakukan anak buahnya dalam kasus kematian terduga teroris Siyono. Badrodin mengatakan hal itu dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Rabu (20/4/2016).
"Terhadap kasus itu sudah dilakukan pemeriksaan terhadap para petugas yang membawa (Siyono), termasuk komandannya. Dan dilakukan sidang disiplin karena ada kelalaian yang dibuat pada yang bersangkutan (Siyono)," kata Badrodin.
Kelalaian ini, diterangkan Badrodin, adalah pengawalan yang hanya satu orang. Padahal dalam Peraturan Kapolri dalam membawa seorang tersangka tidak boleh sendirian. Dan, soal tersangka yang tidak diborgol yang seharusnya dalam Peraturan Kapolri tersangka harus diborgol.
"Nah ini yang dilakukan tindaklanjutnya, dan hari ini, mungkin minggu depan masih dilakukan sidang kode etik terhadap para pelakunya, yaitu petugas yang mengawal," kata Badrodin.
Di sisi lain, Badrodin menyayangkan kematian Siyono. Sebab, dengan begitu Polri menjadi kesulitan dalam pengungkapan jaringan terorisme Al Jamaah Al Islamiyah dan kepemilikan senjata api dan bahan peledak.
"Sehingga dengan meninggalnya tersangka Siyono akses informasi yang seharusnya bisa diperoleh dari tersangka, menjadi hilang," kata Badrodin.
Dalam laporan tertulis Kapolri ke Komisi III, disebutkan kematian Siyono terjadi saat Polisi mengembangkan untuk mencari tersangka lain dalam kepemilikan senjata api. Siyono menyerahkan senjata api kepada Tomi alias Giri alias Pak Pendek.
Pada Kamis 10 Maret 2016, sekitar pukul 8.30 WIB, tim melakukan pengembangan dengan membawa Siyono ke daerah Terminal Krisak, Selogiri, Wonogiri.
Siyono dibawa dengan kendaraan Toyota Inova yang diisi dua anggota polisi, satu pengawal dan satu orang menyupiri mobil. Siyono pun tidak diborgol di dalam mobil. Tujuannya, supaya tersangka bisa dilakukan pendekatan secara psikologis dan diharapkan bisa koperatif memberikan informasi.
Selama berkeliling mencari lokasi yang dituju, saat di Jalan antara Kota Klaten dan Prambanan, tersangka Siyono yang dalam keadaan tidak diborgol dan tidak ditutup matanya, duduk di sisi kursi baris tengah kendaraan. Dengan tiba-tibanmelakukan penyerangan terhadap petugas pengawal yang berada di sebelah kanannya.
Kemudinan, tersangka menerjang pintu untuk melompat dengan berusaha membuka handle pintu. Namun, petugas pengawal berhasil menangkap baju dan menarik tersangka ke belakang.
Selanjutnya, Siyono meakukan perlawanan dan menyerang petugas dengan cara memukul dan menendang untuk berontak dari genggaman petugas. Perkelahian pun tidak bisa dihindarkan.
Tendangan Siyono bahkan sempat mengenai kepala bagian kiri belakang pengemudi kendaraan, sehingga membuat kendaraan oleng ke kanan dan sempat menabrak pembatas jalan. Namun, pengemudi berhasil mmepertahankan kendaraan supaya stabil dan meneruskan perjalanan.
"Akhirnya petugas berhasil menaklukan tersangka dan menguasai situasi dengan kondisi tersangka sudah lemas," kata Badrodin.
Kemudian, lanjut Badrodin, tersangka dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda DIY. Berdasarkan pemeriksaan dokter IGD Rumah Sakit, Siyono dinyatakan meninggal dunia.
"Selanjutnya jenazah diarahkan untuk dibawa ke RS Raden Said Sukanto Kramat Jati, Jakarta. Jenasah diterima di kamar jenasah pada Tanggal 11 Maret 2016 sekitar 01.30 WIB dan langsung dilakukan pemeriksaan luar dan pemeriksaan Post Mortem CT-Scanning (PMCT)serta dilakuan pembacaan hasil," kata Badrodin.
Berdasarkan pemeriksaan luar jenazah dan PMCT yang dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik Densus 88 AT, ditemukan adanya luka memar pada kepala sis kanan, belakang kanan, dan didapatkan pendarahan di bawah selaput otak bagian belakang kanan, fraktur (patah) tulang rusuk kelima kanan depan.
"Yang seluruhnya diakibatkan oleh kekerasan benda tumpul," ujarnya.
Dalam hasil visum et repertum pada tanggal 10 Maret, dokter menerbitkan terhadap salah satu anggota densus yang melakukan pengawalan terhadap Siyono, berdasarkan permintaan tertutlis penyidk Densus 88 AT, ditemukan adanya kekerasan pada mata kiri, leher bagian kiri dan kanan.