Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia lebih mengenal Inggris, ketimbang sebaliknya.
"Di Indonesia, pertandingan antara Manchester United dan Arsenal kadang-kadang menjadi sumber 'pertengkaran' dalam keluarga," ujar Presiden Jokowi ketika menyampaikan pidato di depan Parlemen Kerajaan Inggris, Selasa (19/4/2016).
Bahkan, lanjutnya, masyarakat Indonesia lebih hafal bait-bait lagu One Direction, Coldplay, Genesis, the Beatles, Led Zeppelin, Queen, dan Iron Maiden. Produk-produk Inggris banyak masuk Indonesia, maka dari itu ia ingin juga sebaliknya yaitu produk Indonesia mudah masuk ke negara imperium tersebut.
"Di Indonesia, kami sangat tahu nama produk-produk Inggris seperti Mark&Spencer dan Debenhams, bahkan beberapa dari kami sangat mengerti dimana Harrods itu. Makanya saya ingin kerja sama Indonesia dan Inggris semakin kokoh, dalam dan luas," ucap dia.
Jokowi juga menginginkan masyarakat Inggris lebih mengenal Indonesia, lebih banyak yang ke Indonesia, tidak hanya ke Bali.
"Tapi juga ke tempat-tempat indah lainnya. Ada penerbangan regular dari Jakarta ke London," jelas dia.
Indonesia "Blessing" Bagi Dunia
Hubungan antara Indonesia dan Inggris sudah mulai terjalin sejak akhir abad ke 16 ketika Francis Drake datang ke Maluku. Beberapa tahun kemudian, di tahun 1602 ketika John Lancaster tiba di Aceh membawa surat dari Ratu Elizabeth I untuk memulai hubungan dagang.
Kini, setelah lebih dari 400 tahun, hubungan panjang ini harus diperkuat untuk kemakmuran rakyat kedua bangsa. Untuk persahabatan dan kerja sama kedua negara. Indonesia saat ini sedang bekerja keras, untuk menjadi negara maritim yang makmur.
"Negara menjunjung nilai-nilai universal kemanusian, pluralisme, dan toleransi. Negara yang mengedepankan demokrasi dan menghormati hak asasi manusia. Negara di mana Islam dan demokrasi berjalan seiring. Negara dimana moderasi, tradisi dan modernitas disatukan oleh satu rujukan. Rujukan ke Pancasila, yang menjadi dasar negara kami," terang dia.
Mantan Wali Kota Solo ini meyakini bahwa Indonesia yang sedang membangun ini, akan menjadi “rahmat” bagi dunia, "blessing" bagi dunia. Dunia yang saat ini masih berkutat melawan kemiskinan, dunia yang masih kental dengan ketidakadilan. Dunia yang diwarnai oleh berbagai konflik multidimensi. Dunia yang terganggu oleh terorisme dan ekstrimisme kekerasan. Dunia yang masih sarat dengan prasangka dan sikap intoleran.
Keyakinan mantan Gubernur DKI Jakarta itu didasarkan dua aset penting dalam kehidupan bangsa Indonesia yakni Islam dan demokrasi. Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dengan jumlah lebih dari 200 juta penduduk muslim, dengan ciri utama yang moderat.
"Kami bangga bahwa islam di Indonesia memiliki peran penting dalam mengkonsolidasikan demokrasi. Bertindak sebagai penjaga kemajemukan dan toleransi. Menyerukan moderasi dalam masyarakat. Menentang radikalisme, segala bentuk terorisme, dan ekstrimisme kekerasan dan dapat menjadi inspirasi bagi dunia," kata dia meyakinkan.
Islam Moderat dan Demokrasi : Aset Indonesia
Sejak reformasi 1998, Indonesia telah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Pemilu demokratis dan damai, yang telah berjalan selama empat kali, kini menjadi satu-satunya mekanisme pergantian kekuasaan.
Semua warga negara, terlepas dari latar belakang ras, jender dan agama adalah sama di mata hukum dan memiliki persamaan hak dan kewajiban. Militer di Indonesia tidak lagi terlibat dalam politik.
"Kebebasan berbicara, kebebasan pers dan kebebasan beragama, semuanya dijamin oleh konstitusi. Setiap WNI mempunyai hak menjadi Presiden, termasuk saya," tandas dia.
Seperti di banyak negara lain, dua aset penting dalam kehidupan di Indonesia, yakni Islam moderat dan demokrasi, masih mendapat berbagai tantangan, seperti tindakan intoleransi dalam masyarakat, radikalisme dan ektremisme kekerasan, aksi-aksi terorisme yang mengatasnamakan agama.
"Bahkan ada juga warga negara kami yang bergabung dengan gerakan-gerakan teroris asing di luar negeri meskipun jumlahnya sangat kecil sekali di antara 252 juta penduduk Indonesia," kata Presiden.
Presiden menggarisbawahi bahwa tantangan yang dihadapi sekarang ini tidak bisa dihadapi dengan pendekatan militer semata, tidak juga dapat diselesaikan secara unilateral. Apalagi dengan pendekatan yang diwarnai oleh intoleransi dan buruk sangka justru intoleransi dan buruk sangka inilah yang ingin disamai oleh terorisme maupun oleh gerakan radikal dan ekstremisme tersebut.
Karena itu, lanjut Presiden, serangan teror dimana pun, mengingatkan pada pentingnya kerja sama internasional, pentingnya mempromosikan toleransi dan tidak terprovokasi, pentingnya mengatasi akar masalah.
"Suara dan upaya perdamaian yang diserukan Indonesia, tidak dapat kami lakukan sendirian," kata dia.
Turut hadir mendampingi Presiden, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan Dubes Indonesia untuk Inggris Rizal Sukma.