Suara.com - Pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Wahyu Nandang Herawan menilai ketimpangan structural yang terjadi di dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta sudah jelas. Ketimpangan struktur terjadi antara negara, korporasi, dan rakyat.
"Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (negara) telah menggunakan kekuasaannya untuk menindas nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dengan mengeluarkan kebijakan untuk menundukkan rakyat demi kepentingan korporasi. Korporasi atau pemodal menggunakan modalnya untuk mempengaruhi Negara untuk melakukan kekuasaannya agar kepentingan korporasi dapat diwujudkan," kata Wahyu melalui pesan tertulis kepada Suara.com, Minggu (17/4/2016).
Nelayan tradisional (rakyat), kata dia, dilemahkan oleh keduanya dengan menutup semua akses. Ketimpangan struktur inilah yang menyebabkan terjadinya pemiskinan struktural, pelanggaran ham dan pelanggaran hukum, kata Wahyu.
Wahyu mengatakan pemiskinan structural telah terjadi ketika nelayan tradisional tidak dapat melaut dan mencari ikan karena aksesnya ditutup yang berakibat nelayan tidak mampu untuk mencukupi kebutuhannya.
"Pelanggaran HAM yang terjadi pada proyek reklamasi Teluk Jakarta, berdasarkan catatan YLBHI di antaranya adalah hak atas hidup, hak hidup tentram aman damai bahagia sejahtera dan lahir batin, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas pekerjaan yang layak, hak atas bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak, dan hak atas informasi," katanya.
Berdasarkan konstitusi dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, kata Wahyu, jelas bahwa kewajiban yang paling utama pemerintah Jakarta dan pemerintah pusat adalah memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia. Dengan demikian, kata dia, posisinya jelas bahwa jika reklamasi diteruskan, pemerintah telah melanggar hak asasi manusia.
Dengan melakukan penghentian sementara reklamasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan menandakan pemerintah telah setengah hati dalam menegakkan hak asasi para nelayan tradisional. Padahal, kata Wahyu, secara jelas telah menimbulkan banyak persoalan dan di sisi lain ditolak nelayan.
Dikatakan Wahyu pengelolaan wilayah pesisir harus berpedoman pada dua prinsip open acces yaitu masyarakat berhak untuk mengakses secara terbuka wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan prinsip common property, dimana nelayan memiliki hak hukum untuk memanfaatkan, melindungi, mengelola, dan melarang orang luar memanfaatkannya.
Oleh sebab itu, kata dia, sudah selayaknya dan dibenarkan bahwa para nelayan melakukan penyegelan pulau karena pengelolaan pesisir dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu dan yang aksesnya tertutup dimonopoli.
"Oleh sebab itu, YLBHI mendesak kepada pemerintah terkait untuk segera membatalkan proyek reklamasi Teluk Jakarta karena telah melanggar HAM nelayan tradisional dan masyarakat pesisir," kata Wahyu.
Sebelumnya, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjelaskan sudah banyak pihak yang meminta proyek reklamasi Teluk Jakarta dihentikan untuk sementara, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, namun belum ada yang menjelaskan dasar hukumnya. Ahok mengatakan kalau proyek pembuatan 17 pulau dihentikan sekarang, pemerintah akan digugat pengembang.
"Kalau Pak JK minta hentikan. Tadi kan saya bilang banyak yang minta hentikan, tapi dasar hukumnya apa, jika kirim surat resmi ke saya akan saya pelajari. Kalau nggak, saya akan digugat PTUN dan jika kalah pemda ganti beberpa triliun itu yang bayar pemda, loh. Kira-kira DPRD akan pecat saya nggak kalau gitu," kata Ahok saat ditemui di kantor BPJS Ketenagakerjaan.
Sebelumnya, Jusuf Kalla meminta agar proyek reklamasi Teluk Jakarta dihentikan untuk sementara waktu karena diduga menyalahi sejumlah aturan, terutama terkait lingkungan.
Ahok menceritakan pengalaman pada tahun 2008. Ketika itu, Kementerian Lingkungan Hidup melayangkan gugatan ke pengadilan untuk membatalkan proyek reklamasi Pantai Utara.
"Tapi apa hasilnya, itu dipatahkan oleh pengadilan. Karena itu dinilai salah gugatan," kata Ahok.