Suara.com - Wakil Ketua Umun Partai Gerindra Fadli Zon menilai kalau pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sering mencampuri urusan hukum menjadi alat politik.
"Kita masih melihat terutama pada era pemerintahan sekarang ini, hukum sering sekali hanya menjadi alat politik, dan hukum tidak bisa ditegakkan secara adil," ujar Fadli saat diskusi publik bertajuk Pro Kontra Audit Sumber Waras di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (16/4/2016).
Hal ini dikatakan Fadli Zon yang geram dengan penanganan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut kasus Rumah Sakit (RS) Sumber Waras. Ia juga menduga kalau Jokowi melindungi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam kasus ini.
"Ini mulai urusan partai politik sampai ke hal-hal yang lain ya. Termasuk di dalam persoalan Sumber Waras ini. Masalah sumber waras ini saya kira masalahnya sudah terbentang dengan jelas (kalau Ahok bersalah)," jelas Fadli.
"Sudah ada audit investigasi yang resmi dari BPK. Seharusnya tidak ada perdebatan untuk polemik yang panjang-panjang lagi. Tinggal kesimpulan, dan menurut saya kesimpulannya bahwa ini adalah korupsi. Dan pelakunya ya harus segera ditangkap," katanya menambahkan.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra ini juga menilai tak perlu lagi ada diskusi maupun perdebatan soal Sumber Waras.
"Oleh karena itu, ini sepertinya mutar-mutar, mungkin ada faktor politik di belakangnya. Dan rumor yang mengatakan tadi, ya kabarnya ini dilindungi oleh Presiden. Oleh karena itu, Presiden perlu mengklarifikasi bahwa dia tidak melindungi Ahok dalam kasus Sumber Waras," kata Fadli.
Terkait kasus Sumber Waras, pemerintah DKI membeli lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras senilai Rp755 miliar. Dananya diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan tahun 2014.
Menurut Badan Pemeriksa Keuangan proses pengadaan lahan tak sesuai dengan prosedur. BPK menilai pemprov DKI membeli lahan di kawasan itu dengan harga yang lebih mahal. Sehingga membuat BPK menilai pembelian tahan tersebut mengakibatlan kerugian negara sebesar Rp191 miliar.
Selain itu, BPK juga menemukan enam indikasi penyimpangan dalam proses pengadaan tanah, yakni penyimpangan dalam tahap perencanaan, penganggaran, tim, pengadaan pembelian lahan RS Sumber Waras, penentuan harga, dan penyerahan hasil.