Suara.com - Dalam pertemuan konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi, siang ini, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman mengatakan anggota dewan tak perlu mundur dari jabatan ketika ingin mengikuti pemilihan kepala daerah.
Pernyataan Rambe terkait revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi UU Nomor 8 Tahun 2015 pada 18 Maret 2015 yang telah dilakukan pengujian UU (judicial review) terhadap UUD 1945 sebanyak 25, dimana tujuh di antaranya dikabulkan.
Salah satu Keputusan MK Nomor 33/PUU-Xlll/2015, Pasal 7 huruf S berisi kewajiban anggota DPR, DPD dan DPRD untuk mundur pascaditetapkan menjadi calon kepala daerah.
"Kita mendengar pendapat dari pakar hukum, NGO dan LSM. Bahwa DPR tidak usah mundur," ujar Rambe.
Kalau anggota DPR yang maju menjadi kepala daerah harus mundur, kata dia, calon petahana juga harus mundur dari jabatannya dulu.
"Sebab di keputusan MK juga dinyatakan, kalau tidak untuk diskriminatif, ya mundur semua ya mundur, termasuk petahana. Putusan MK tidak mengatur petahana. Ya kalau mundur, mundur semua. Tidak ada diskriminasi. Kalau diperkenankan maju boleh maju semua," kata dia.
Adapun dalam keputusan MK Nomor 46/PUU-Xlll/2015 yakni kewajiban bagi calon dari TNI, Kepolisian, PNS, dan BUMN/ BUMD untuk mundur "pasca ditetapkan sebagai calon" dari semula "sejak mendaftarkan sebagai calon."
Menurut Rambe soal calon kepala daerah dari unsur TNI, kepolisian, PNS, dan BUMN/ BUMD, kalaupun dibolehkan mengikuti pilkada, dalam kampanye mereka tidak boleh menggunakan atribut dengan membawa korps Polri, TNI, dan PNS.
"Bagi kita nggak ada masalah. Semua punya hak. Apa dasarnya TNI nggak jadi gubernur? Pada saat kampanye tidak boleh membawa korps. Demikian juga Polri, juga PNS. Sebab ada juga keinginan dilarang PNS atau dari birokrasi untuk jadi gubernur," kata dia.