Suara.com - Petugas Badan Reserse Kriminal Kepolisian Indonesia menyataakan tidak menemukan keterlibatan Rumah Sakit Cipto Mangkunkusumo, Jakarta Pusat, dalam kasus penjualan organ ginjal secara ilegal.
"Kami tidak menemukan (bukti) keterlibatannya," kata Kepala Subdit III Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Kepolisian Indonesia Komisaris Besar Polisi Umar Fana di Jakarta, Kamis (14/4/2016).
Menurut dia dari sisi kode etik kedokteran, dokter tidak punya kewajiban untuk mengetahui sumber donor ginjal.
"Tidak ada kewajiban dan kewenangan dari RSCM untuk mengetahui sumber donor (ginjal) dari mana. Yang penting dilakukan pengecekan (secara medis), bila secara medis sudah cocok (antara resipien dan donor), maka dilaksanakan operasi," katanya.
Polisi pun tidak menemukan komunikasi antara resipien ginjal dengan donor ginjal korban.
Menurut dia dalam kasus ini, salah satu tersangka, HS alias H, pernah memiliki riwayat sakit ginjal sehingga mengetahui alur orang-orang yang sakit ginjal dan mencuci darah di RSCM. H pun kemudian mendekati orang-orang itu untuk menawari mereka membeli ginjal dari donor.
"Tersangka H dulunya sakit ginjal dan sepertinya si H itu memang nongkrong-nya di RS sana. Dia juga tahu orang yang selalu cuci darah. Dia dekati orang-orang ini dan akhirnya terjadi transaksi. Jadi memang langsung antara H dengan resipien," katanya.
Sementara berkas kasus tersebut saat ini sudah masuk Kejaksaan Agung untuk diperiksa kelengkapan berkasnya.
"Berkas tiga tersangka kasus ginjal masih di Kejagung. Belum ada jawaban apakah P19 atau P21. Kami masih menunggu," imbuhnya.
Pada Januari 2016, Bareskrim Polri mengungkap sindikat penjualan organ ginjal dan menangkap tiga tersangka kasus tersebut.
"Tersangkanya HS, AG dan DD," kata Fana.
HS ditangkap polisi di Jakarta. Sementara AG dan DD diringkus di Bandung, Jawa Barat.
Dalam kasus ini, HS berperan sebagai penghubung ke rumah sakit. "AG dan DD berperan merekrut pendonor (korban)," katanya.
Umar menjelaskan HS menginstruksikan AG dan DD untuk mencari korban pendonor ginjal.
Ia mengatakan dalam kasus ini, penerima ginjal dikenakan biaya Rp225 juta-Rp300 juta untuk pembelian satu ginjal dengan uang muka sebesar Rp10 juta-Rp15 juta.
"Sisa pembayaran dilakukan setelah operasi transplantasi dilakukan," katanya.
Biaya tersebut, menurutnya, tidak termasuk biaya operasi transplantasi yang harus ditanggung oleh penerima ginjal.
Dalam kasus ini, HS menerima keuntungan Rp100 juta-Rp110 juta. Sementara AG mendapat bayaran Rp5 juta-Rp7,5 juta setiap mendapatkan pendonor. Sedangkan DD mendapatkan upah Rp10 juta-Rp15 juta.
Atas perbuatannya, ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 64 Ayat 3 UU Nomor 36/2009 Tentang Kesehatan yang isinya: organ dan atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun. (Antara)