Suara.com - Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq meminta pemerintah mengambil jalur negosiasi dalam membebaskan 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf di daerah Filipina Selatan.
Pada 8 April 2016 adalah batas akhir kedua pembayaran uang tebusan lebih dari Rp15 miliar.
Sabtu (10/4/2016), militer Filipina kontak senjata frontal jarak dekat dengan kelompok Abu Sayyaf di Pulau Basilan. Sebanyak 18 tentara Filipina tewas di tempat dan lima milisi Abu Sayyaf juga tewas. Kelompok Abu Sayyaf yang diketahui menculik 10 WNI dipimpin Al-Habsy Misaya dan Jim Dragon.
"Operasi militer pemerintah Filipina yang gagal, memberikan isyarat penting untuk membebaskan 10 WNI harus mempertimbangkan pendekatan kemanusiaan melalui jalur negosiasi," kata Siddiq.
Dia mengatakan apabila prioritas utama pemerintah adalah menyelamatkan 10 WNI maka jalur negosiasi merupakan yang harus ditempuh.
Siddiq mendorong pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri semakin mengintensifkan komunikasi antara penyandera dan perusahaan dalam usaha membebaskan sandera.
"Sejak hari kedua penyanderaan, perusahaan lakukan komunikasi dengan penyandera. Saya mendorong Kemlu mengintensifkan komunikasi, karena kewajiban pemerintah untuk mendampingi dan memfasilitasi dalam pembebasan," ujarnya.
Politikus PKS menilai opsi menggunakan kekuatan militer tidak memungkinkan diambil dan juga tidak menjamin keselamatan para sandera.
Karena itu menurut dia, pemerintah Indonesia harus realistis dan mempertimbangkan opsi kemanusiaan dalam membebaskan 10 WNI.
"Peristiwa militer Filipina yang gagal membuktikan bahwa mereka tidak mampu lalu bagaimana menjamin kalau militer Indonesia masuk lebih beresiko terhadap para sandera dan pasukan yang dikirim," katanya.