Suara.com - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyebut proyek reklamasi 17 pulau di pantai utara Jakarta merupakan praktik yang cacat hukum dan sosial karena banyak menabrak peraturan perundang-undangan.
Dalam sebuah diskusi publik berjudul Reklamasi Penuh Duri di Jakarta, Sabtu, Ketua Dewan Pembina KNTI Chalid Muhammad menyatakan ada banyak aturan yang dilanggar dalam Keputusan Presiden (Keppres) nomor 52 tahun 1995 yang selama ini digunakan Pemerintah Provinsi DKI sebagai acuan pelaksanaan reklamasi.
"Kalau dicermati di dalam Keppres itu, untuk reklamasi diperlukan satu badan pelaksana yang terdiri dari gubernur dan jajarannya serta satu tim pengarah yang terdiri dari kementerian terkait. Ini kan tidak ada," ungkapnya.
Selain itu, dalam Keppres juga disebutkan bahwa hak kelola pulau reklamasi berada di tangan pemda, bukan di pihak pengembang seperti yang terjadi saat ini.
Chalid pun menduga telah terjadi penyelundupan hukum dari sisi analisis dampak lingkungan (amdal) karena Pemprov DKI Jakarta diduga memecah amdal dari amdal kawasan yang otorisasinya ada di pemerintah pusat, ke amdal pulau per pulau yang kemudian menjadi kewenangan pemda.
"Amdal kawasan reklamasi dulu ditolak oleh Kementerian Lingkungan Hidup, maka pemda mengakalinya dengan memecah amdal pulau per pulau. Padahal kan laut tidak ada batas administratif, jadi kalau dipecah begitu jadi tidak rasional," paparnya.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu (UNIB) Juanda menilai masalah reklamasi yang kini mencuat menjadi kasus korupsi diakibatkan kekacauan norma hukum dalam beberapa undang-undang yang mengatur tentang zonasi dan penataan kawasan pantai utara Jakarta.
"Saya tidak menyalahkan Pemprov DKI, saya melihat ini ada salah penafsiran tentang kewenangan yang diberikan perundangan kita," ujarnya.
Sebagai contoh, beberapa pasal yang mengatur tentang tata ruang dalam Keppres 52/2015 telah dibatalkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek Punjur).
Perpres tersebut menyatakan bahwa Jabodetabek Punjur merupakan kawasan strategis nasional dimana kewenangannya berada di tingkat kementerian.
Namun, Pemprov DKI tetap mengacu pada Keppres 52/2015 sebagai dasar hukum karena kewenangan gubernur mengelola proyek reklamasi masih tercantum dan berlaku menurut undang-undang tersebut.
"Kekacauan hukum ini harus segera diselesaikan dengan mencabut baik keppres dan perpres yang bermasalah tersebut, kemudian membuat peraturan baru disesuaikan dengan kondisi saat ini," ungkap Juanda. (Antara)
Kesatuan Nelayan Sebut Reklamasi Pantai Utara Cacat Hukum
Ardi Mandiri Suara.Com
Sabtu, 09 April 2016 | 19:46 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
REKOMENDASI
TERKINI