Suara.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan untuk membangun simpang susun Semanggi. Tujuannya untuk mengurai kemacetan, baik dari arah Jalan Jenderal Gatot Soebroto/Komdak, dan atau arah Soedirman yang berpapasan dengan arah Slipi.
Proyek pembangunan flyover Bundaran Semanggi ini memiliki panjang 796 m (ramp 1), dan 826 m (ramp-2), lebar jalan 8 meter 2 lajur. Proyek ini nilainya mencapai Rp 345,067 miliar. Pembangunan sendiri rencananya akan berlangsung selama 540 hari kalender kerja dan diharapkan dapat mulai beroperasi pada 17 Agustus 2017. Peletakan batu pertama pembangunan simpang susun Semanggi telah dilakukan, kemarin, Jumat (8/4/2016).
Namun Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mempertanyakan urgensi pembangunan simpang susun Semanggi. "Dalam jangka pendek, bisa jadi simpang susun (fly over) Semanggi akan berhasil mengurai kemacetan di sekitar Semanggi. Khususnya dari arah Gatot Soebroto, Slipi, dan Soedirman," kata Tulus dalam keterangan resmi, Sabtu (9/4/2016).
Hanya saja Tulus menilai kemampuan simpang susun tersebut mengurai kemacetan tidak lebih dari 6 bulan-1 tahun saja. Selebihnya, simpang susun justru akan berfungsi sebaliknya, yakni memicu dan melahirkan kemacetan baru. "Hal ini karena pembangunan fly over/under pass selalu dibenturkan dengan tidak imbangnya ratio luas jalan dengan ratio pertumbuhan penggunaan kendaraan bermotor pribadi," ujar Tulus.
Fly over, under pass dan bahkan pembangunan jalan baru tidak lebih merupakan "karpet merah" bagi warga Jakarta untuk memiliki dan menggunakan kendaraan bermotor pribadi untuk mobilitasnya. Warga Jakarta menjadi malas menggunakan angkutan umum. Apalagi angkutan umum di Jakarta sampai detik ini masih amburadul, sekalipun Transjakarta. Pembangunan simpang susun Semanggi merupakan hal yang kontra produktif bagi lalu-lintas di Jakarta. "Apalagi dari sisi tata-ruang, simpang susun Semanggi akan memperburuk tata ruang di sekitar Semanggi. Seharusnya Pemprov DKI hanya membangun simpang susun/under pass, untuk lokasi yang beririsan dengan rel kereta api (lintas sebidang)," tutur Tulus.
Yang mendesak untuk mengatasi kemacetan di Jakarta adalah memberikan dis-insentif bagi pengguna kendaraan pribadi, misalnya mempercepat implementasi jalan berbayar (ERP, Electronic Road Pricing). Sedangkan membangun simpang susun justru memberikan "insentif" bagi pengguna kendaraan pribadi, agar semakin nyaman menggunakan kendaraannya. Implikasinya, apalagi kalau bukan kemacetan! "Jadi alasan membangun simpang susun Semanggi untuk mengatasi kemacetan, adalah alasan dan paradigma yang sesat pikir," tegas Tulus.
Namun, ia mengingatkan bahwa pemberian dis insentif bagi pengguna kendaraan pribadi, akan optimal dan adil jika dibarengi dengan fasilitas transportasi umum (masal) yang manusiawi, terintegrasi, dan tarifnya terjangkau.