Suara.com - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau tanggul raksasa di lepas pantai DKI Jakarta menjadi kesempatan membenahi persoalan 17 pulau buatan di Teluk Jakarta.
"(Gunakan) NCICD, saran saya sehingga kita bisa me-'review' secara makro perlakuan terhadap Teluk Jakarta," kata Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK San Afri Awang di Jakarta, Kamis (7/4/2016).
Dengan NCICD koordinator ada di tangan Menko Perekonomian, KLHK akan minta perlakuan terhadap Teluk Jakarta, termasuk proyek 17 pulau buatan, dapat didiskusikan lagi.
Awang mengatakan bahwa kewenangan KLHK hanya untuk porsi lingkungan, sedangkan soal lokasi ada di tangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
"Posisi kami, ya, me-'review' (perlakuan terhadap Teluk Jakarta) untuk kembali pada 'track' yang seharusnya kami lakukan untuk Teluk Jakarta secara keseluruhan," katanya.
Dengan kondisi saat tersebut, menurut dia, KLHK tidak bisa mencabut izin lingkungan yang dikeluarkan pemerintah daerah, dan hanya bisa melakukan pengawasan dan memberikan pendapat yang disampaikan melalui Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD).
"Karena yang mengeluarkan izin adalah gubernur, ya, hanya gubernur yang bisa mencabut. Kami punya kewenangan untuk pantau lingkungan, tetapi jalurnya harus disampaikan terlebih dahulu melalui BLHD, tinggal BLHD melaksanakan atau tidak," katanya.
Dengan Pasal 73 Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup, kata dia, intervensi pemerintah pusat dapat dilakukan jika terjadi pelanggaran hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan menimbulkan keresahan masyarakat.
KLHK, menurut dia, akan me-"review" rencana pengelolaan lingkungan rencana pemantauan lingkungan (RKL-RPL), termasuk amdalnya.
Seharusnya dokumen RKL-RPL yang diajukan oleh para pengembang, kata San, telah melalui studi aspek sosial ekonomi di wilayah tersebut. Khusus Teluk Jakarta, tentu perlu disertakan pendapat dari masyarakat nelayan yang melaut di area tersebut.
"Kita cek metode amdal yang dipakai. Kalau sudah sesuai dengan standarnya, ya, kita benarkan. Akan tetapi, kalau nelayan misalnya tidak diambil sebagai responden, ya, itu keliru karena di poin ketiga amdal harus melalui studi aspek sosial ekonomi," katanya. (Antara)