Pengacara: Duit Rp2 M yang Diterima Sanusi Buat Pertemanan

Kamis, 07 April 2016 | 18:15 WIB
Pengacara: Duit Rp2 M yang Diterima Sanusi Buat Pertemanan
Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M. Sanusi berjalan keluar seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (1/4/2016) malam. [Suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pengacara bekas Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra M. Sanusi, Krisna Murti, uang yang diterima kliennya dari Presiden Direktur PT. Agung Podomoro Land (Tbk) Ariesman Widjaja bukan merupakan uang suap.

"Uang yang diterima Bang Sanusi bukan uang suap, yang tidak dalam kapasitas kewenangannya untuk menerima uang tersebut," ujar Krisna di gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (7/4/2016).

Menurut Krisna, Sanusi dan Ariesman merupakan teman dekat sejak tahun 2005. Keduanya sama-sama pengusaha yang bergerak di bidang properti sehingga uang sekitar Rp2 miliar yang diterima Sanusi tidak bisa dikatakan sebagai uang suap, apalagi untuk mempengaruhi pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

"Bahwa Bang Uci dan Ariesman kan kenal sejak 2005. Sama-sama pengembang, kerjasama di bidang properti, istilahnya ini uang pertemanan. Bukan uang suap," kata dia.

"Artinya tidak ada hubungannya (dengan raperda). Menerima uang ini kewenangannya tidak sebagai ketua komisi D, tapi sebagai anggota biasa. Ini bukan diberikan ke Bang Uci untuk golkan raperda. Karena pada kewenangannya tidak membahas raperda itu sendiri," ujar Krisna menambahkan.

Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan KPK terhadap Sanusi pada Kamis (31/3/3016) malam. Sanusi diduga menerima suap senilai Rp2 miliar dari staf PT. Agung Podomoro Land Trinanda Prihantoro yang juga diciduk polisi tak lama kemudian.

Sehari setelah itu, Jumat (1/4/2016), Ariesman Widjaja menyerahkan diri ke KPK.

Ketiga orang itu kemudian ditetapkan menjadi tersangka terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Pembahasan raperda sempat mandeg. Diduga, karena pengembang enggan membayar kewajiban 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak atas setiap pembuatan pulau kepada pemerintah. Kewajiban itu merupakan salah satu poin dalam Raperda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta.

Para perusahaan disinyalir ngotot menginginkan hanya lima persen dari NJOP. Ditengarai terjadi tarik-menarik yang alot antara pengembang dan pembuat undang-undang mengenai hal itu sebelum raperda disahkan menjadi perda.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI