Suara.com - Azi (40), nelayan tradisional yang biasa mencari ikan dan ranjungan (kepiting) di sekitar Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta Utara, terlihat kecapean, Kamis (7/4/2016) siang. Sekarang, lokasi favoritnya sudah ditutup untuk nelayan karena ada proyek reklamasi yang dilakukan pengembang swasta.
Azi mengatakan proyek reklamasi berjalan sejak bulan Januari 2016. Kehadiran proyek tersebut praktis membuat ruang geraknya semakin terbatas dan tentu saja imbasnya penghasilan jauh berkurang.
"Dari bulan Januari itu mas proyek, ya kita mau bagaimana lagi sudah dibatasi mencari ikan," kata Azi saat ditemui Suara.com di Muara Angke.
Di balik proyek reklamasi ada aroma suap. Aroma semakin menyengat setelah bekas anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra M. Sanusi ditangkap KPK karena diduga menerima suap dari pengembang PT. Agung Podomoro Land (Tbk) terkait pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.
Azi menceritakan proses pengerjaan proyek reklamasi memakai alat-alat berat. Penyedotan, pengurugan, dan lain sebagainya.
"Dua jam datang kapal dari Belanda kelihatan benderanya, dua jam ngedrop lagi, nggak tahu itu mas dari mana pasir itu," kata Azi .
Azi mengatakan para nelayan tradisional sekarang tidak boleh mendekat ke perairan di sekitar proyek. Di sana, katanya, banyak yang menjaga.
"Masih dalam pengawasan security, kita nggak boleh mendekat selama pengerjaan mas," kata Azi.
Dari dermaga Muara Angke untuk menuju proyek reklamasi dibutuhkan waktu sekitar 15 menit memakai kapal nelayan tradisional. Jaraknya sekitar dua mil.
"Dekat sekali mas, bisa dilihat kan dekat dari sini, pasir sudah menumpuk mas," kata Azi.
Azi sedih tak bisa lagi mencari ranjungan gara-gara ada proyek reklamasi.
"Rajungan kalau lagi musim, tiga bulan nggak habis mas, sekarang udah jadi proyek gimana lagi mas," ujar Azi.