KPK Bantah Telah Mencekal Staf Khusus Ahok

Selasa, 05 April 2016 | 08:22 WIB
KPK Bantah Telah Mencekal Staf Khusus Ahok
Pelaksana Harian Kepala Biro Hubungan masyarakat KPK Yuyuk Andriati. [suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi klarifikasi mengenai pencegahan ke luar negari yang dimintakan ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM dalam kasus dugaan ‎suap anggota DPRD terkait Rancangan Peraturan Daerah tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang  Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.
 
Menurut Pelaksana Harian Kepala Biro Hubungan masyarakat  KPK, Yuyuk Andriati, KPK hanya meminta pencegahan terhadap 2 orang, yakni Presiden Direktur PT. Agung Podomoro Land (Tbk), Arieswan Widjaja dan Chairman PT.Agung Sedayu, Sugiyanto Kusuma alias Aguan.
 
"Saya ingin memberikan info pencegahan, karena banyak simpang siur. Bahwa sampai saat ini KPK hanya cegah untuk dua nama. Pertama Sugiyanto Kusuma, kedua Ariesman yang pada Jumat lalu sudah menyerahkan diri ke KPK,"kata  Yuyuk di  Gedung KPK Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (4/4/2016) malam.
 
Dia membantah kabar adanya pihak lain yang turut dicegah. Kabar yang beredar, seorang berinisial ST yang disebut-sebut Sunny Tanuwidjaja, staf khusus Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok.
 
"Tidak ada yang dicegah lagi, hanya ada dua nama‎," kata Yuyuk.
 
‎Sebelumnya, KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus dugaan suap Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil  Provinsi Jakarta dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang  Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.‎ Mereka adalah Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi, Personal Assistant PT. APL(Tbk) Trinanda Prihantoro, dan Presiden Direktur PT.APL(Tbk).Ariesman Widjaja.
 
Sanusi diduga menerima suap sebesar Rp2 miliar‎ dari PT.APL (Tbk)terkait dengan pembahasan Raperda tersebut.Disinyalir pembahasan itu mandeg salah satunya lantaran para perusahaan pengembang enggan membayar kewajiban 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atas setiap pembuatan pulau kepada pemerintah. Kewajiban itu yang menjadi salah satu poin dalam draf Raperda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta.
 
Para perusahaan sendiri ngotot menginginkan hanya 5 persen dari NJOP yang dibayarkan ke pemerintah. Ditengarai terjadi tarik-menarik yang alot antara perusahaan dan pembuat undang-undang mengenai hal itu sebelum raperda itu disahkan menjadi perda.
 
Adapun selaku penerima, Sanusi dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
 
‎Sedangkan Ariesman dan Trinanda selaku pemberi dikenakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) kesatu KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP‎.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI