Senator A. M. Fatwa minta Polri mengevaluasi standar operasi Datasemen Khusus 88 Antiteror dalam menangani kasus terorisme. Hal ini menyusul kasus meninggalnya warga Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah,
Siyono, yang statusnya masih terduga teroris pada Rabu (9/3/2016) lalu.
"Saya kira Kepolisian harus melakukan introspeksi khususnya terhadap Densus 88, jangan menutup telinga atas koreksi masyarakat yang sebenarnya sudah cukup lama. Karena kasus Siyono semakin memuncak (kritik dan ketidakpercayaan masyarakat) terhadap Polri, maka saya imbau kapolri melakukan koreksi internal terutama terhadap Densus 88," kata Fatwa di Hotel Gren Alia, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (3/4/2016).
Fatwa menambahkan selama ini masyarakat sudah sering mengkritik Densus 88 dalam menangani terduga teroris, tapi hasilnya belum ada.
"Yang paling banyak korban adalah umat Islam. Kalau ada pelanggaran hukum (yang dilakukan teroris), ya kita mendukung dilakukan penindakan secara hukum, jika perlu dengan kekerasan. Karena memang Undang undang membolehkan aparat negara (Polri) melakukan kekerasan berdasarkan hukum. Tetapi yang terjadi selama ini dikritisi masyarakat banyak penindakan oleh Densus 88 yang melanggar prosedur hukum," kata dia.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan menilai kematian Siyono setelah dibawa tim Densus 88 Antiteror Polri tak wajar. Hal itu diungkapkan Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil Politik Kontras Putri Kanesa usai mendapat laporan hasil investigasi kasus kematian Siyono.
Putri mengungkapkan Siyono ditangkap densus usai salat Maghrib. Ketika itu, densus tak menunjukkan surat penangkapan kepada keluarga Suratmi sebelum menciduk Siyono.
"Densus 88 tidak memberi tahu ke Suratmi (istri Siyono) alasan suaminya dibawa dan akan dibawa kemana,"ujar Putri di gedung dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (1/4/2016).
Putri menambahkan Suratmi baru diberitahu setelah Siyono dipulangkan dalam keadaan tak bernyawa.
Ketika itu, keluarga melihat bekas memar di bagian tubuh Siyono.
"Keluarga melihat ada memar di bagian mata, pipi, dari paha hingga betis lebam. Tulang hidung dan jari kaki patah dan Suratmi tidak menerima rekam media terkait kematian suaminya," katanya
Kontras setuju semangat Densus 88 untuk menanggulangi terorisme. Tapi, tetap harus menerapkan asas praduga tak bersalah kepada setiap orang yang dicurigai.
Kontras mencatat sebanyak 121 orang, termasuk Siyono, menjadi korban meninggal dalam operasi densus.
"Bagaimana Densus 88 melakukan audit dan evaluasi. Ini bukan kali pertama kasus seperti Siyono. Ada 120 orang lagi yang menjadi korban salah sasaran yang kemudian disiksa dan meninggal," kata dia.
Kini, Suratmi bertekad untuk mencari keadilan. Suratmi ikhlas kalau nanti diusir aparat desa dari kampung halaman gara-gara berjuang mengungkap sebab kematian suami. Dia minta bantuan organisasi Muhammadiyah untuk mengusut.
"Saya sampaikan ke Bu Suratmi, jawabnya begini, 'Mas Dahnil, saya sedang mencari keadilan dan saya menitip usaha saya kepada Muhamadiyah. Kalaupun dalam usaha saya, saya harus terusir bumi Allah itu luas. Jadi Bu Suratmi menyatakan autopsi harus dilakukan untuk mencari keadilan.' Muhammadiyah menyambut baik dengan ikhlas dan bulat menampung dan menanggung keluarga Siyono jika diusir dari kampung halamannya," kata ujar Ketua Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak.
Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Dwi Prayitno akan mengawasi proses pemeriksaan terhadap anggota Datasemen Khusus 88 Antiteror terkait meninggalnya Siyono, terduga teroris asal Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, pada Rabu (9/3/2016) lalu. Pemeriksaan terhadap anggota densus dilakukan oleh Propam Mabes Polri.
Suara.com - "Prinsipnya kalau ada hal yang diduga penyimpangan kita dari Propam, irwasum turun untuk melaksanakan riksus, pemeriksaan khusus, sampai sejauh ini kita belum selesai pemeriksaannya masih berlangsung," kata Dwi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (1/4/2016).
Menurut Dwi penangkapan yang dilakukan anggota Densus 88 terhadap terduga teroris sudah sesuai prosedur.
"Dari laporan awal kita bisa ketahui bahwa sebetulnya itu SOP (standard operational procedure)-nya sudah terapkan, karena yang kita hadapi itu kan teroris ya. Kalau kita tahu itu melawan, polisi bisa melakukan sesuatu tindakan yang seimbang, itu ada di KUHP itu dilindungi ya aparat," kata dia.
"Penggeledahan maupun penyitaan bisa kita lakukan di mana saja. ada izin dari pengadilan, penetapan atau dalam keadaan terdesak. Jadi di mana saja kita lakukan penggeledahan itu sesuai ketentuan hukum," Dwi menambahkan.