Suara.com - Indonesia mengedepankan langkah-langkah tanpa kekerasan untuk menyelesaikan kasus penyanderaan 10 orang Warga Negara Indonesia yang disandera di Filipina. Aksi penyelamatan harus mengutamakan keselamatan para sandera.
"Dalam masalah WNI kita disandera di Filipina itu, kita tetap akan melakukan soft power dengan negosiasi ini lebih kuat dan menguntungkan saya lihat karena minim korban jiwa dan biaya," kata Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Sutiyoso di Jakarta, Sabtu.
Pemerintah sendiri, kata dia bertekad tidak akan tunduk terhadap permintaan tebusan- tebusan dari para penyandera yang diduga adalah kelompok Abu Sayyaf.
"Itu prinsip kita, kita akan upayakan pembebasan tanpa syarat," ujar Sutiyoso usai acara diskusi mengenai pendekatan "soft power" dalam pembebasan sandera di Mall of Indonesia.
Indonesia telah mengirimkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan maksud untuk merundingkan peristiwa ini dengan pemerintah Filipina terkait opsi yang akan dipilih dan cara yang akan diambil.
"Kita kan perlu tahu itu, jika misalnya akan dilakukan dengan aksi militer, kita minta dilibatkan di dalamnya dan mungkin meminta izin," ujar dia.
Terkait dengan kemungkinan penggunaan operasi militer untuk membebaskan sandera jika nantinya pemerintah Filipina tidak mengizinkan militer masuk dan upaya dari pemerintah setempat tidak ada sementara twnggat waktu tinggal enam hari lagi, Sutiyoso menekankan untuk menunggu perkembangan yang dibawa Menlu.
Sebelumnya, berdasarkan laporan yang beredar, Abu Sayyaf meminta tebusan 50 juta peso atau setara Rp14,2 miliar, dengan tenggat pada 31 Maret 2016 untuk membebaskan 10 WNI yang disandera dalam Kapal Anand 12. Namun diperpanjang hingga enam hari ke depan. (Antara)