Permasalahan waria jompo belum banyak disentuh para pengambil kebijakan.
Padahal, permasalahan mereka termasuk pelik. Terutama, akses mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.
Tak banyak dari mereka yang mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit ataupun klinik kesehatan secara baik.
Hal itu diceritakan salah satu transgender yang tinggal di rumah singgah Gang Golf, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat, Mami Ita (47).
Waria yang berprofesi sebagai tukang salon keliling itu mengaku sampai sekarang tak punya kartu BPJS Kesehatan.
Untuk mendapatkan akses kesehatan, pemilik nama asli Suhada itu selalu meminta pertolongan Ketua Forum Komunitas Waria Indonesia Yulianus Rettoblaut atau Mami Yuli.
"BPJS belum punya, karena KTP saya domisili di Surabaya. Jadi kalau waria jompo yang belum memiliki KTP semuanya yang mengurus mami Yuli dari mulai administrasi sampai dibawa ke puskesmas atau rumah sakit," ujar Mami Ita kepada Suara.com, baru-baru ini.
Hal yang senada juga diungkapkan rekan Mami Ita, Oma Yoti. Dia mengaku belum memiliki BPJS Kesehatan lantaran tak memiliki cukup duit untuk membayar iuran rutin per bulan yang rata-rata Rp60 ribu.
"Saya belum memiliki BPJS karena prosesnya lama. Tapi kalau sakit biasanya mendapatkan kartu sehat dari gereja," kata Oma Yati.
Mami Yuli mengatakan waria lansia turun tangan. Waria jompo bisa mendapatkan layanan kesehatan dengan difasilitasi rumah singgah setelah melengkapi seluruh persyaratan, seperti KTP dan kartu keluarga.
Rumah singgah, katanya, juga akan membantu meringankan biaya berobat. Misalnya dengan membayar iuran rutin Rp10 ribu per bulan.
"Kami juga kerjasama dengan puskesmas, ada iuran untuk meng-cover mereka," ujar Mami Yuli.
Menanggapi permasalahan tersebut, Kepala Minoritas dan Kepala Seksi Pelayanan Sosial Kelompok Minoritas Kementerian Sosial Enang Rohjana mengatakan pemerintah akan memberikan pendampingan hingga ke puskesmas bagi yang mengalami masalah kesehatan. Tidak ada pengecualian, termasuk waria.
"Akan diberikan pendampingan ketika sakit," kata dia.
Padahal, permasalahan mereka termasuk pelik. Terutama, akses mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.
Tak banyak dari mereka yang mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit ataupun klinik kesehatan secara baik.
Hal itu diceritakan salah satu transgender yang tinggal di rumah singgah Gang Golf, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat, Mami Ita (47).
Waria yang berprofesi sebagai tukang salon keliling itu mengaku sampai sekarang tak punya kartu BPJS Kesehatan.
Untuk mendapatkan akses kesehatan, pemilik nama asli Suhada itu selalu meminta pertolongan Ketua Forum Komunitas Waria Indonesia Yulianus Rettoblaut atau Mami Yuli.
"BPJS belum punya, karena KTP saya domisili di Surabaya. Jadi kalau waria jompo yang belum memiliki KTP semuanya yang mengurus mami Yuli dari mulai administrasi sampai dibawa ke puskesmas atau rumah sakit," ujar Mami Ita kepada Suara.com, baru-baru ini.
Hal yang senada juga diungkapkan rekan Mami Ita, Oma Yoti. Dia mengaku belum memiliki BPJS Kesehatan lantaran tak memiliki cukup duit untuk membayar iuran rutin per bulan yang rata-rata Rp60 ribu.
"Saya belum memiliki BPJS karena prosesnya lama. Tapi kalau sakit biasanya mendapatkan kartu sehat dari gereja," kata Oma Yati.
Mami Yuli mengatakan waria lansia turun tangan. Waria jompo bisa mendapatkan layanan kesehatan dengan difasilitasi rumah singgah setelah melengkapi seluruh persyaratan, seperti KTP dan kartu keluarga.
Rumah singgah, katanya, juga akan membantu meringankan biaya berobat. Misalnya dengan membayar iuran rutin Rp10 ribu per bulan.
"Kami juga kerjasama dengan puskesmas, ada iuran untuk meng-cover mereka," ujar Mami Yuli.
Menanggapi permasalahan tersebut, Kepala Minoritas dan Kepala Seksi Pelayanan Sosial Kelompok Minoritas Kementerian Sosial Enang Rohjana mengatakan pemerintah akan memberikan pendampingan hingga ke puskesmas bagi yang mengalami masalah kesehatan. Tidak ada pengecualian, termasuk waria.
"Akan diberikan pendampingan ketika sakit," kata dia.