Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandung mengecam Kepolisian Sektor Sumur Bandung yang membubarkan paksa aksi Perayaan Tubuh 2016 di Jalan Asia Afrika, Minggu (27/3) malam. AJI Bandung menilai, tindakan tersebut sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat.
Perayaan Tubuh 2016 diperingati seniman Bandung yang tergabung dalam Awak Inisiatif Art Movement dengan melakukan pertunjukan seni olah tubuh. Sembilan seniman memulai pertunjukan dari Monumen Titik Nol Kilometer Kota Bandung, Jalan Asia Afrika pada pukul 19.50. Mereka rencananya akan bergerak menuju eks Plaza Palaguna yang berjarak kurang lebih 300 meter dari titik start.
Salah satu seniman yang terlibat dalam aksi itu, Wanggi Hoediyatno mengatakan, jelang titik akhir mereka berhenti di depan Tugu Asia Afrika. Aksi pertunjukan mereka mengundang perhatian beberapa warga yang ada di lokasi. Di tengah menyampaikan pesan perdamaian dan anti kekerasan pada warga yang hadir, seorang anggota polisi satuan lalu-lintas menghampiri salah satu seniman meminta agar pertunjukan diakhiri karena mengganggu ketertiban umum.
Melihat gelagat kurang baik, Wanggi memutuskan untuk mengakhiri pertunjukan. “Saya sudah berhenti dan mengucapkan terima kasih pada warga yang sudah hadir dan menyaksikan. Ada beberapa teman yang masih melakukan olah tubuh. Sekitar jam 21.20,” ujar Wanggi, dalam pernyataan resmi, Minggu (27/3/2016) malam.
Tak lama berselang, Wanggi mengatakan ada empat anggota polisi yang kembali mendatangi mereka. Kali ini menurut Wanggi, mereka datang dengan berteriak “bubar-bubar, dasar seniman tidak jelas”.
“Gak ngelanjutin karena sudah di-stop. Perlakuan mereka di lapangan. Ada cara yang salah untuk memberhentikan. Wanggi mencoba untuk faham. Tidak mau terlibat mulut banyak di situ,” lanjutnya.
Para seniman kemudian membereskan properti pertunjukan dan bersiap pulang menuju Gedung Indonesia Menggugat. Namun di tengah perjalanan pulang, Wanggi diberhentikan oleh dua anggota polisi berpakaian preman. Wanggi kemudian diminta untuk naik ke sebuah mobil berwarna hitam dan dibawa menuju Markas Polsekta Sumur Bandung.
Di Markas Polsekta Sumur Bandung, Wanggi mengaku diinterogasi oleh anggota dari unit intelkam. Polisi menanyai identitas diri Wanggi dan tujuan kegiatan. Menurutnya, polisi membubarkan paksa kegiatan tersebut karena tidak mendapatkan surat pemberitahuan sebelumnya. Setelah dibuatkan berita acara interogasi, Wanggi kemudian dilepaskan.
AJI Kota Bandung mengecam tindakan Kepolisian Sektor Sumur Bandung tersebut. Setiap warga negara berhak untuk berekpresi, menyampaikan pendapat dan berkesenian serta berkebudayaan di ruang-ruang publik. Hak ini pun diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28.
Polisi, sesuai dengan pasal 1 dan 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dengan jelas menyatakan Kepolisian bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
“Bukan malahan membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Polisi seharusnya memastikan warga negara dapat berekspresi dan berpendapat dengan tenang,” ujar Divisi Advokasi AJI Bandung, Ari Syahril Ramadhan dalam keterangan resmi, Senin (28/3/2016).
Ari menilai, tindakan membawa Wanggi ke kantor Polisi merupakan sebuah aksi teror pembungkaman. Tidak ada satu pun pasal-pasal hukum yang dapat dituduhkan pada Wanggi dan seniman yang terlibat dalam aksi Perayaan Tubuh 2016.
Maret ini lanjut Ari, Kepolisian Sektor Sumur Bandung jugatelah gagal melindungi kebebasan berekspresi dan perpendapat. Mereka tidak mau dan tidak mampu menjamin keamanan pertunjukan teater monolog Tan Malaka ‘Saya Rusa Berbulu Merah’ di Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung, Rabu (23/3) malam. Mereka lebih memilih mendukung kelompok intoleran yang kontra terhadap pertunjukan teater itu.
“Bandung sudah mendeklarasikan diri sebagai Kota HAM. Jangan sekedar jadi slogan saja,” pungkasnya.