Menteri Tenaga Kerja Dorong Jurnalis di Indonesia Berserikat

Adhitya Himawan Suara.Com
Rabu, 23 Maret 2016 | 18:13 WIB
Menteri Tenaga Kerja Dorong Jurnalis di Indonesia Berserikat
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mendorong jurnalis untuk berserikat dan memperjuangkan nasibnya agar lebih sejahtera. Hal itu disampaikan saat pidato penyerahan penghargaan Liputan Media Terbaik tentang Isu Perburuhan dan Serikat Pekerja tahun 2015 yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. 
 
Ia menyinggung selama ini jurnalis ini jago membicarakan nasib buruh dan hubungan industrial yang dialami buruh lain melalui karya jurnalistiknya. “Saatnya membicarakan nasib sendiri agar kesejahteraan wartawan juga lebih baik,” kata Hanif Dhakiri kepada sekitar 60 jurnalis dan undangan yang hadir di Hall Stasiun Gambir, Jakarta, Rabu (23/3/2016).
 
Di saat dunia industri terus berkembang, termasuk di media, ia menekan agar terbangun hubungan kerja yang saling menguntungkan. “Apapun model bisnisnya, pemberi kerja harus jelas, hubungan kerja jelas, hak dan kewajibannya juga jelas,” katanya.
 
Sementara itu dalam diskusi yang berlangsung sebelumnya, Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia Yudie Thirzano mengatakan kondisi ketenagaakerjaan di media perlu mendapat perhatian dari Kementerian Ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja kerap terjadi tanpa memperhatikan hak-hak pekerja, selain itu status hubungan kerja kontributor yang tidak jelas. “Secara status lebih buruk dari pekerja outsourcing,” katanya.
 
Ia menyampaikan hasil survey AJI khususnya soal kondisi kontributor media di daerah banyak diabaikan hak-haknya. Sekitar 39 persen kontributor tidak mendapatkan jaminan sosial nasional berupa BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Dari jumlah itu 44 persen tidak terlindungi karena mengaku tidak mampu membayar asuransi swasta secara mandiri.
 
Selain itu, Yudie mengatakan, sekitar 22 persen kontributor mendapat upah hanya Rp1,5 juta atau di bawah upah minimum. “Upah ini jelas tidak layak. Karena tidak bisa mencover kebutuhan sehari-hari yang rata-rata per bulan mencapai Rp3 juta,” katanya.  
 
Kondisi ini mempengaruhi profesionalisme jurnalis. Ia mengatakan banyak kontributor yang akhirnya mencari pekerjaan sampingan, seperti menjadi satpam ketika malam hari, menjadi sopir atau menjalankan bisnis foto atau shooting video pengantin. “Ini tentu memprihatinkan,” katanya.
 
Selain itu ia menyampaikan kondisi media yang mayoritas tidak ramah dengan serikat pekerja. Dari sekitar 2.300 media di Indonesia, saat ini hanya terdapat 19 serikat pekerja. "Itupun tidak seluruhnya sehat dan mengalami kesulitan untuk mempejuangkan haknya," kata Yudie. Minimnya jumlah serikat pekerja ini, kata Yudi karena, “Banyak perusahaan media yang tidak bersahabat dengan serikat pekerja.”
 
Dalam diskusi yang sama Surya Tjandra (Pengacara Publik dan Peneliti Senior TURC) mengatakan perlu waktu panjang untuk memperjuangan posisi kontributor, karena perlu memperluas prinsip konsep hubungan kerja yang saat ini diatur dalam undang-undang. “Yang paling cepat bisa dilakukan dengan memperjuangan karya jurnalistik sebagai milik jurnalis. Karya jurnalistik harus dibayar setiap kali digunakan,” katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI