Nasib sopir taksi konvensional sungguh miris. Pendapatan mereka kian tipis setelah muncul berbagai jenis transportasi berbasis pemesanan via online, terutama kendaraan plat hitam: Grab Car dan Uber.
Di satu sisi, mereka dituntut perusahaan masing-masing untuk memenuhi target setoran yang hampir setiap tahun naik.
Itu sebabnya, hari ini, mereka mogok dan demonstrasi menuntut pemerintah menutup aplikasi Grab Car dan Uber.
Di satu sisi, mereka dituntut perusahaan masing-masing untuk memenuhi target setoran yang hampir setiap tahun naik.
Itu sebabnya, hari ini, mereka mogok dan demonstrasi menuntut pemerintah menutup aplikasi Grab Car dan Uber.
Sebagian sopir mengungkapkan perusahaan tempat mereka bekerja terkesan tidak berpihak pada perjuangan mereka dan cenderung membiarkan sopirnya berjuang sendiri.
"Perusahaan memang tidak menyuruh kami karena perusahaan dapat setoran terus setiap hari. Kami kan sistemnya komisi. Sekarang, kalau pendapat kami sehari tidak lebih dari Rp550 ribu, maka kami pulang rumah dengan tangan kosong. Kalau begitu terus, nanti kami kerja hanya untuk perusahaan saja. Kalau tunggu mereka, kapan kami punya uang," kata Andri, salah satu sopir taksi, di tengah aksi di depan pintu utara Monas, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (22/3/2016).
"Perusahaan memang tidak menyuruh kami karena perusahaan dapat setoran terus setiap hari. Kami kan sistemnya komisi. Sekarang, kalau pendapat kami sehari tidak lebih dari Rp550 ribu, maka kami pulang rumah dengan tangan kosong. Kalau begitu terus, nanti kami kerja hanya untuk perusahaan saja. Kalau tunggu mereka, kapan kami punya uang," kata Andri, salah satu sopir taksi, di tengah aksi di depan pintu utara Monas, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (22/3/2016).
Ketidakberpihakan perusahaan kepada sopir dirasakan Andri. Perusahaan meminta sopir tidak ikut demonstrasi agar setoran tetap lancar.
"Gila kali itu operator ya, masa sopir taksi yang sedang ikut demo minta segera balik ke posnya atau tidak lanjut kerja. Saya bilang bodoh banget itu operatornya," kata Andri.
Andri mengatakan zaman sekarang untuk orang seperti dirinya tidak leluasa menari kerja. Itu sebabnya, melalui mogok dan unjuk rasa hari ini, diharapkan pemerintah mendengar aspirasi.
"Sekarang lapangan kerja itu sulit sekali. Seperti kami ini, hanya ini saja yang cocok, nanti mau lamar ke tempat lain, kami belum tentu diterima, makanya kami harapkan pemerintah saja, supaya adil," katanya.
Sopir taksi konvensional merasa pemerintah telah mendiskriminasi mereka. Pasalnya, mobil plat hitam seperti Uber dan Grab Car dibebaskan beroperasi dengan sistem online dan mengambil jatah mereka. Padahal, dalam sistem transportasi umum di Indonesia, hanya mobil plat kuning yang boleh beroperasi sebagai angkutan umum, sementara kendaraan plat hitam semata sebagai kendaraan pribadi.
Suara.com - Sejak muncul Uber dan Grab Car di Jakarta sekitar tujuh bulan yang lalu, penghasilan sebagian sopir taksi konvensional menurun drastis.
Benni Hidayat (40), pengemudi taksi Express, mengatakan sekarang ini penghasilan sehari tidak cukup untuk menafkahi anak dan istri di rumah, bahkan dia sering nunggak setoran.
Padahal, kata dia, sebelum Uber dan Grab Car, paling sedikit, Benny bisa bawa pulang rata-rata 300 ribu rupiah sehari.
"Sengsara kami sekarang mas, ini sejak Uber dan Grab itu muncul, jarang bawa uang pulang, kalaupun bawa, biasanya uang setoran yang tidak kita setor, ngutang ke kantor. Padahal dulu, setidaknya saya bawa pulang 300 ribu rupiah," kata Benni kepada Suara.com di Monas. (Dian Rosmala)