Seperti Ini Gambaran di Balik Syarat Calon Independen Diperberat

Selasa, 15 Maret 2016 | 13:36 WIB
Seperti Ini Gambaran di Balik Syarat Calon Independen Diperberat
Rapat paripurna DPR [suara.com/Bagus Santosa]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di tengah memanasnya isu deparpolisasi seiring dengan persiapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) maju ke Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 melalui jalur non partai politik, Komisi II DPR membahas rencana revisi UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015, dimana syarat seseorang mencalonkan diri melalui jalur independen bakal diperberat.

Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Rambe Kamarulzaman ‎mengatakan revisi tersebut merupakan wacana mayoritas fraksi di DPR.

"Ini murni dari DPR, dari Fraksi PKB, Gerindra, dan banyak fraksilah. Ini yang mesti ditampung untuk kesetaraan. Golkar setuju saja," kata Rambe di DPR, Selasa (15/3/2016).

Apakah ada fraksi yang menolak revisi UU Pilkada untuk memberatkan sayarat calon independen? Rambe menjawab secara diplomatis. ‎

"Kita lihat nanti di rapat. Tapi mudah-mudahan semua bisa (setuju)," tuturnya.

Rambe menerangkan ‎draf revisi berasal dari pemerintah dan sekarang sedang digodok. Setelah itu, DPR akan membahasnya dan memasukkan Daftar Inventarisasi Masalah yang kemudian dibahas bersama.

Peningkatan syarat seseorang bisa maju ke pemilihan kepala daerah melalui jalur independen, Rambe sebagai azas kesetaraan. Sebab, dalam UU Pilkada, yang dibolehkan maju adalah calon perseorangan dan calon dari partai politik atau gabungan partai politik.

Rambe tidak mau menggunakan istilah calon independen karena menurutnya berarti bebas dari apapun, termasuk partai politik.

"Jadi calon dari partai politik mau kita setarakan dengan calon perseorangan. Kalau partai politik syaratnya 20 persen dukungan jumlah kursi di DPRD atau 25 persen dukungan dari DPT. Oleh karena itu, syarat 6,5 - 10 persen untuk calon perseorangan perlu dinaikkan. Bukan diturunkan. Jadi disetarakan dan alternatifnya 10-15 persen atau 15-20 persen," kata Rambe.

Kemudian, yang menjadi pembahasan selanjutnya mengenai angka persentase tersebut yang merujuk kepada apa. Rambe mengatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi, syarat perseorangan merujuk pada jumlah daftar pemilih tetap di daerah tempat pemilihan. Namun, hal itu masih bisa dibicarakan kembali, katanya.

"Yang jadi persoalan apakah itu merujuk pada DPT atau jumlah penduduk," kata dia.

Selanjutnya, yang perlu diatur adalah proses calon perseorangan dalam mendeklarasikan diri. Menurut Rambe cara tersebut perlu diatur agar tidak menjadi polemik baru.

"PKPU juga harus memberi garis tentang tertibnya, misalnya (calon perseorangan) mendatangi rumah ke rumah, atau dengan gerakan. Jadi nggak usah diumumkan ke khalayak ramai. Itu membuat suasana yang tidak pas. Itu menjadi suasana yang jadi orang mengembangkan deparpolisasi," tutur Rambe.

Terkait kesetaraan, Rambe mengatakan ada usulan untuk menyamakan antara calon incumbent dengan calon lainnya, seperti dari TNI, Polri, dan PNS. Sebab, dalam aturan sebelumnya, TNI, Polri, PNS ‎harus mundur dulu dari jabatan kalau ingin maju ke pilkada. Sedangkan, calon incumbent tidak diharuskan mundur.

"Nah UU itu harus kita jelaskan, ‎kalau mau mundur, mundur semua. Kalau tidak mundur, tidak mundur semua. Jadi tidak ada pengecualian. Semua kesetaraan itu penting. Kalau kembali lagi ke perseorangan, tidak ada pengecualian dari calon partai politik, tidak ada pengecualian dari calon perseorangan. Jadi ketentuannya sama," kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI