Menunggu Kejagung Melanjutkan Kasus "Papa Minta Saham"

Ririn Indriani Suara.Com
Selasa, 15 Maret 2016 | 07:02 WIB
Menunggu Kejagung Melanjutkan Kasus "Papa Minta Saham"
Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, usai menjalani pemeriksaan untuk pertama kalinya di Kejaksaan Agung RI, Kamis (4/2/2016). [Suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tak terasa empat bulan berlalu, kasus rekaman "Papa Minta Saham" yang menyeret nama Setya Novanto ---mantan Ketua DPR RI--- diselidiki Kejaksaan Agung. Selama waktu itu pula, penyelidikannya terkesan jalan di tempat.

Berbeda halnya saat kasus itu mengemuka yang bersamaan dengan persidangan di MKD setelah Menteri ESDM Sudirman Said melaporkannya dengan berbekal rekaman perbincangan dari Maroef Syamsuddin ---saat itu Presdir PT Freeport Indonesia---. Republik Indonesia bak akan runtuh, semua media baik cetak maupun elektronik membicarakannya.

Bersamaan itu pula, Kejaksaan Agung dengan gagah perkasa menyatakan turut menyelidiki kasus tersebut. Bahkan, berani berbicara di depan media yang notabene kasus itu masih dalam tahap penyelidikan, rasa takut akan adanya pihak yang melarikan diri atau penghilangan barang bukti, sudah tidak dipikirkan.

Yang penting saat itu, Kejagung tengah "berpesta" untuk mendapatkan citra baik setelah sebelumnya dihajar terus menerus lewat kasus dana Bansos Sumut 2012-2013.

Tanpa tedeng aling lagi, Kejagung "memproklamirkan" adanya pasal permufakatan jahat setiap ditanya media.

Bagaimana kelanjutannya?, bersamaan dengan mundurnya Setya Novanto menjadi Ketua DPR RI. Gedung Bundar pun ---Gedung JAM Pidsus--- sepi kembali tanpa ada para pemburu berita, termasuk sepinya komentar di para penggede Korps Adhyaksa itu. Mereka hanya cukup menyatakan, "Penyelidikan terus berjalan", setiap pekan selalu menyatakan itu setiap ditanya.

Dari sumber Antara, penyelidikan kasus itu akan dihentikan karena ketiadaan bukti. Nah yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan penyataan permufakatan jahat. Karena itu, hukum harus menjadi panglima, jangan politik menjadi panglima.

Karena itu, Kejagung harus berani menyatakan harus berani pula meningkatkan kasus itu ke penyidikan. Karena Kejagung sudah menyatakan kepercayaan dirinya dengan kalimat luar biasa, yakni "Pasal Permufakatan Jahat". Jangan sampai secara diam-diam, menghentikan penyelidikan kasus itu.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) meminta Kejaksaan Agung segera meningkatkan penanganan kasus "Papa Minta Saham" Setya Novanto dari penyelidikan ke penyidikan.

"Sekarang sudah ada dua alat bukti, baik keterangan dari saksi maupun petunjuk, tinggal menunggu apa lagi? Segera tingkatkan ke penyidikan," pinta Koordinator LSM MAKI Boyamin Saiman kepada Antara di Jakarta, Rabu.

Ia menambahkan dengan ditingkatkan ke penyidikan, maka Kejagung bisa memanggil paksa pengusaha M. Riza Chalid karena keterangannya sangat dibutuhkan saat ini terkait dengan unsur permufakatan jahat bersama Setya Novanto.

Jika Kejagung menghentikan penyelidikan kasus itu atau mengambangkannya di ranah penyelidikan maka publik memberikan citra negatif kepada Korps Adhyaksa, karena telah bermain politis.

Ia menyayangkan lamanya penyelidikan tersebut dengan meningkatkan ke penyidikan menunjukkan bahwa Kejagung tidak serius dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air.

"Saat ini rakyat Indonesia berharap banyak kepada Kejagung hingga harus membuktikan dengan tidak main-main dalam penanganan kasus Setya Novanto itu," tegasnya.

Sementara itu, aktivis pemberantasan korupsi meminta Kejaksaan Agung tidak menghentikan penyelidikan kasus dugaan "Papa Minta Saham" mantan Ketua DPR Setya Novanto.

"Jika memang dihentikan jadi semakin terkonfirmasi bahwa penanganan perkara SN memang syarat kepentingan politis. Panas dan kencang diselidik ketika pemeriksaan etik berjalan, dan setelah 'dilengserkan' terhenti," kata Executive Director Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Choky Ramadhan.

"Keukeuh" penyelidikan Sementara itu, Kejagung sampai sekarang selalu berdalih bahwa kasus tersebut masih penyelidikan meski sudah berlangsung sejak awal Desember 2015.

"Penyelidikannya masih berjalan, tidak ada yang dihentikan," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Arminsyah.

Kendati demikian, Arminsyah enggan mengakui ketidakhadiran pengusaha Riza Chalid menjadi penghambat proses penyelidikan kasus tersebut.

Sebelumnya, Jaksa Agung RI H.M. Prasetyo menyatakan penyelidik masih harus mengumpulkan lagi bukti-bukti dari awal.

"Tapi yang jelas masih dalam penyelidikan, kita harus mengumpulkan lagi bukti-bukti dari awal," katanya.

Jaksa Agung mengklaim belum mendapatkan kesulitan untuk sangkaan permufakatan jahat itu.

"Tidak ada (hambatan, red.), hanya memang yang diundang tidak hadir (Riza Chalid, red.). Itu yang jadi hambatan kita," ucapnya.

Sementara itu, Setya Novanto mengajukan permohonan uji materi atas ketentuan Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 44 Huruf b UU ITE serta Pasal 26A UU KPK. Seluruh ketentuan tersebut terkait dengan alat bukti elektronik dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah.

Novanto menilai bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas tentang alat bukti yang sah serta siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan perekaman.

Dalam kasus Novanto, Kejaksaan Agung melampirkan alat bukti terhadap dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia dari rekaman pembicaraan yang direkam oleh Maroef Sjamsoeddin.

Kuasa hukum Novanto, Syaefullah Hamid, kemudian menambahkan bahwa tindakan merekam secara tidak sah telah melanggar konstitusi.

"Pemohon merasa bahwa rekaman tersebut tidak sah karena dilakukan tanpa persetujuan orang yang berbicara dalam rekaman, sehingga rekaman tersebut tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti," ujar Syaefullah.

Novanto lalu meminta Mahkamah untuk menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI