Suara.com - Salah seorang sopir Bajaj, Cecep Handoko bingung harus 'tombok' uang setoran. Sebab penghasilannya tergerus karena maraknya transportasi berbasis online di Ibu Kota. Makin dikit pelanggannya.
"Penghasilan turun dari mulai mereka launching, ada satu tahunan kan? Mereka dengan promo yang besar-besar dalam arti kita sudah kalah (bersaing), udah mati," ujar Cecep kepada Suara.com, Senin (14/3/2016).
Cecep yang juga merupakan Ketua Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat mengaku setiap harinya selalu rugi apabila narik bajaj dan bersaing dengan mobil pribadi yang dijadikan oleh sebagai transportasi online.
"Wah udah nggak terkejar bang setoran saya Rp120 ribu, dan sekarang hanya dapat Rp75 ribu perak darimana kita nombok? Boro-boro sampai setoran kan kalau begitu," katanya.
Diketahui, sebenarnya bajaji di DKI yang telah menggunakan Bahan Bakar Gas juga telah memiliki aplikasi online dengan sebutan Bajaj App yang telah diluncurkan, Rabu 7 Oktober 2015 lalu. Hanya saja aplikasi yang dapat dipesan melalui smartphone itu tak berjalan efektif.
"Aplikasi bajaj itu berantakan, masak kita dipilih di Senen dapat penumpang jauh gitu kan nggak lucu, mengapa tidak suksesnya aplikasi bajaj karena aplikasi bajaj radiusnya terlalu jauh mas," katanya.
PPAD yang terdiri dari para pengemudi angkutan taksi, pengemudi angkutan bus kecil, pengemudi bus kota dan para sopir bajaj pagi tadi telah melakukan aksi unjuk rasa menolak keberadaan transportasi online seperti Uber dan Grab Car di Balai Kota DKI Jakarta.
Uber maupun Grab Car merupakan perusahaan jasa transportasi berbasis aplikasi online di smartphone. Konon katanya sejak keberadaan transportasi berbasis online tersebut penghasilan dari para sopir taksi dan angkutan umum lainnya menurun.