Suara.com - Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menggerebek Unit Dagang MJJ -- pabrik pengolahan bumbu masak ketumbar dan lada berbahan kimia -- di pergudangan Kosambi Permai, Tangerang, Banten. Dari lokasi tersebut, polisi mengamankan pemilik pabrik, lelaki berinisial E (44).
Kepala Sub Direktorat Industri dan Perdagangan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Agung Marlianto mengatakan bahan kimia yang dicampurkan ke lada dan ketumbar berjenis Hidrogen Peroksida (H2O2) dan Sodium Bicarbonante (NaHCO3).
"Zatnya ada dua, hidrogen peroksida (h2o2) dan soidum bicarbonate (NaHCO3), kalau hidrogen peroksida sering digunakan untuk anti jamur, bleacin, pemutih gigi kemudian untuk pemutih pakaian atau untuk industri digunakan untuk pembuatan senyawa roket, senyawa tersebut tidak boleh sama sekali digunakan untuk tambahan pangan," kata Agung di Polda Metro Jaya, Kamis (10/3/2016).
Agung mengatakan kedua zat kimia bisa dipakai untuk bahan makanan, tetapi kadarnya harus sesuai aturan.
"Masih boleh, tapi ada ambang batasnya juga 0,03 ons. Di atas itu dikhawatirkan akan membahayakan bagi kesehatan masyarakat," kata dia.
Sementara penggunaan bahan di pabrik milik E takarannya melebihi ambang batas.
Pabrik tersebut pengolahan bahan bumbu dapur dengan takaran sebanyak 500 kilogram lada bahan dicampur dengan delapan ons zat Sodium dan 20 kilogram zat H2O2.
Agung kemudian menjelaskan cara meraciknya.
Setelah semua bahan dicampur, lalu diaduk, kemudian didiamkan selama dua hari sembari dikipasi agar kotoran debu dalam lada tersebut hilang.
Sedangkan pengoplosan ketumbar berkimia, yakni 250 kilogram ketumbar dicampur dengan 20 kilogram zat kimia H2O2. Proses pengolahannya sama. Ketumbar yang telah dicampur bahan kimia kemudian dikeringkan dengan kipas angin selama dua hari.
Menurut Agung lada dan ketumbar berkimia tersebut dijual sampai ke pelosok-pelosok di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Omset yang diperoleh dalam bisnis ini, katanya, bisa mencapai Rp100 juta perbulan. Pelaku, kata Agung, sudah melakukan bisnis semacam itu sejak tahun 2008.
"Dipasarkan di daerah Jabodetabek, Jateng, Lampung bahkan ada juga yang di Kalimantan. Cukup lama dengan omset 100 juta per bulannya," kata Agung.
Saat ini, kata Agung, pengusaha E sudah ditetapkan menjadi tersangka. Polisi juga sudah memintai keterangan 26 karyawan pabrik.
"Tersangkanya hanya satu yaitu pemiliknya berinisial E," kata Agung.
Tersangka dijerat dengan Pasal 110 UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lima lima tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.