Suara.com - Isu terkait keberadaan kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) belakangan ini kembali ramai dibicarakan di Indonesia. Hal itu terutama berkaitan dengan munculnya berbagai kasus, antara lain seperti dugaan tindak pencabulan terhadap anak lelaki di bawah umur oleh pedangdut terkenal.
Kenyataannya, masih ada banyak orang yang menentang keberadaan LGBT di Indonesia. Sementara di sisi lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai bahwa LGBT merupakan fakta yang harus diakui keberadaannya. Makanya, Komnas HAM pun sangat menentang serta senantiasa mencegah adanya diskriminasi terhadap kaum LGBT.
"Tugas pihak Komnas HAM adalah memberikan hak bicara bagi semua orang, baik kaum hetero maupun homoseksual. Mereka mempunyai hak bicara dan mengutarakan pikiran mereka, selama belum berubah ke tindakan kekerasan fisik," ungkap Nur Kholis dari Komnas HAM, akhir Februari lalu.
Diakui, pro dan kontra terhadap keberadaan LGBT di tengah masyarakat, maupun di antara kalangan pemerintahan sendiri, masih terus berlangsung bahkan di era yang kian demokratis dan penuh keterbukaan seperti saat ini. Padahal sebenarnya, sebagaimana dituturkan pengamat sosial, Wisnu Adihartono, LGBT sebenarnya bukanlah hal yang baru di Indonesia.
"Perilaku homoseksual di Indonesia tumbuh dari latar belakang budaya dan sejarah yang panjang dan rumit. Keberadaan LGBT telah ditulis dalam sejarah sebagai bagian dari budaya dan tradisi bangsa Indonesia," ungkapnya, melalui wawancara via e-mail, beberapa waktu lalu.
"Kita dapat melihat contoh komunitas Bissu di Sulawesi Selatan yang dianggap sebagai seorang Hermaphrodite (manusia yang mempunyai dua jenis kelamin yang berfungsi). Mereka dianggap sebagai orang suci dengan kekuasaan untuk berdialog dengan dewa-dewa. Contoh lainnya adalah hubungan cinta antara Warok dan Gemblak dalam tarian Reog di Ponogoro, Jawa Timur," sambungnya, sembari menambahkan bahwa kondisi lantas berubah sekitar tahun 1960-an ketika kemudian orang yang tidak memiliki agama pun ditandai sebagai komunis.
Menurut catatan "Laporan Nasional Indonesia: Hidup Sebagai LGBT di Asia" (2014), perubahan dramatis pada sistem politik Indonesia pada Mei 1998, seharusnya juga membuka pintu bagi gerakan LGBT untuk semakin berkembang. Salah satunya adalah lewat pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia pada bulan Desember 1998 yang secara resmi mengikutsertakan perwakilan dari kaum lesbian, wanita biseksual dan pria transgender (LBT). Dalam kongres tersebut, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) menegaskan bahwa orang-orang LGBT secara resmi termasuk Sektor XV, serta bahwa orang LBT pun dapat diberdayakan untuk mengorganisir diri.
Disebutkan juga dalam laporan tersebut bahwa pendekatan yang berbasis HAM menjadi semakin nyata dalam karya banyak organisasi LGBT, baik yang sudah lama maupun yang baru muncul. Hal ini membuka peluang kerja sama lebih lanjut dengan organisasi-organisasi HAM arus utama lainnya. Namun kenyataannya tidak semudah itu, karena setelah berjalan sekian lama, LGBT masih saja dikucilkan dan dianggap sebagai perilaku yang menyimpang di Indonesia.
"Kalau dengan situasi perilaku masyarakat pada saat ini, kami masih merasa tidak nyaman. Tindakan kebencian terhadap LGBT masih seringkali muncul, terutama di social media dan juga berita website," ungkap salah seorang aktivis LGBT, Agustine.
"Kita tidak merasa tertekan menjadi LGBT selama kita diterima. Persoalan dimulai ketika kita mendapat perlakuan buruk," tambahnya.
"Sebetulnya kalau di masyarakat, negosiasi ideologi pun sangat penting. Kita hidup sesuai kebiasaan masyarakat. Di kehidupan pribadi, kita tidak pernah mengurusi hubungan pasangan heteroseksual. Tidak mudah bagi LGBT untuk menerima pendapat hetero lainnya yang berpikiran buruk terhadap kami," ujarnya lagi.
Ketika dimintai pendapat mengenai perlindungan pemerintah terhadap kaum LGBT di Indonesia, Agustine secara tegas mengakui belum adanya kebijakan terkait proteksi.
"Kekerasan pertama sering kali dimulai dari rumah. Di beberapa kasus LGBT, pihak LGBT akan melaporkan tindakan kekerasan ke polisi. Tetapi, ketika ketahuan dia adalah LGBT, polisi sering kali berpihak pada keluarga," tuturnya.
Wisnu Adihartono pun membenarkan situasi ini. Dia mengaku sejauh ini tidak melihat dukungan dari pemerintah terhadap komunitas LGBT.
"Apa yang bisa saya katakan adalah, pemerintah Indonesia telah berhasil menjalankan mekanisme representasi sosial dan sistem kepercayaan gender... Jadi, seksualitas yang baik, normal dan alami, idealnya harus heteroseksual. Sementara hubungan seks yang tidak baik, normal dan tidak wajar, akan diberi label non-heteroseksual," ungkapnya.
Saat ditanyakan mengenai hal itu kepada wakil rakyat dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD), jawaban yang diberikan mengindikasikan kenyataan masih sulitnya posisi LGBT. Anggota DPD dari daerah pemilihan Jawa Timur, Emilia Contessa misalnya, mengaku bahwa mereka (DPD) mendukung namun sekaligus juga anti-LGBT. Dia sendiri mengaku merupakan salah satu yang menentang perkawinan atau hubungan sesama jenis.
"Jelas saya menentang. Saya sependapat pada mayoritas. Saya sangat setuju (menentang LGBT). Walaupun di sisi lain, setiap manusia mempunyai hak. Yang saya takutkan, seperti saya seorang ibu, tentu saya sangat khawatir anak saya tidak bias terjaga. Itu yang saya khawatirkan. Terus kemudian bahwa LGBT itu mengkampanyekan diri mereka," tuturnya.
Emilia juga mengatakan bahwa LGBT jelas menyimpang. Tepatnya dia berpendapat, bahwa walaupun tidak membahayakan, namun LGBT jelas menyimpang. Menariknya, hal itu diungkapkannya sembari mengakui bahwa salah satu keponakan laki-laki sepupunya menikah dengan laki-laki di Amerika.
"Saya mau jujur. Salah satu keponakan (lelaki) sepupu saya, dia menikah dengan laki-laki. Tapi dia tinggal di Amerika. Tapi dia sungkan banget ketemu saya. Semua keluarga menemui saya, yang dari Amerika, tapi dia tidak datang. Tapi dia bilang sudah menikah dengan laki-laki. Mereka di Amerika memang dilegalkan," ujarnya.
Pertanyaan yang kemudian juga berkembang adalah apakah kaum LGBT perlu dibuatkan kolom khusus di KTP, sehingga memudahkan untuk memantaunya. Lebih jauh, ada juga wacana dibuatnya undang-undang khusus terkait keberadaan LGBT. Namun terhadap hal ini, Emilia secara tegas menolaknya.
"Nggak usahlah. Itu membuat mereka menjadi semakin diistimewakan,"tukasnya.
Pro-kontra Masyarakat dan Kondisi di Negara Tetangga
Septi Rizky Amelia (23) yang bekerja sebagai admin di salah satu perusahaan di daerah Senayan City, termasuk salah satu anggota masyarakat yang tegas menyatakan kontra dengan keberadaan dan aktivitas LGBT.
"Saya sih tidak setuju, karena sudah melanggar asusila juga sih jatuhnya. Karena kan emang juga nggak manusiawi juga LGBT. Kan kita udah dikodratin sepasang, dan nggak mungkin kita sejenis," ujarnya, saat diwawancarai beberapa waktu lalu.
"Menurut saya itu udah penyimpangan (dari) kodratnya manusia. Karena kan manusia itu harusnya berpasang-pasangan. Antara laki-laki dengan perempuan, bukan laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan," ungkap Reza Septian (27), seorang karyawan swasta di Jakarta.
Namun di sisi lain, ada juga warga yang tak mempermasalahkannya, bahkan cenderung memberikan dukungan, terutama dengan pertimbangan hak asasi. Salah satunya adalah Adji Febrizky Tiara, seorang pelajar SMA di Jakarta.
"Jika suka sama suka, ya udah, emang kenapa? Menurut saya, orang-orang yang melarang LGBT karena menurut mereka salah itu aneh. Oke, mereka (boleh) percaya kalau LGBT itu salah. Tapi nggak berarti orang-orang nggak boleh (jadi) LGBT juga," tuturnya.
Salah satu pandangan yang berkembang di masyarakat, terutama untuk yang kontra dengan keberadaan dan aktivitas LGBT adalah pemahaman bahwa LGBT itu menular. Menanggapi hal ini, aktivis LGBT, Agustine, tegas membantah pemahaman yang dinilai keliru tersebut.
"Orientasi seksual itu seluruhnya potensi, datangnya dari hati dan perasaan. Saya tidak percaya orientasi seksual itu menular. Kalau dia seorang hetero dan punya teman gay, ia tidak akan menjurus seperti temannya kan. Jika ia memutuskan untuk mencoba berhubungan sesama jenis karena penasaran, biasanya ia pun akhirnya akan kembali berhubungan dengan lawan jenis," ujarnya.
"Sama juga dengan gay yang dipaksa berkeluarga oleh tekanan keluarga mereka. Setelah mereka menikah dan mempunyai anak, mereka biasanya akhirnya kembali lagi menjadi homoseksual," tambah Agustine.
"Sebuah lembaga survei di Australia mengeluarkan hasil surveinya. Dari 168 pria hetero di Australia, (sebanyak) 148 mengaku pernah punya pengalaman berhubungan sesama jenis hanya karena penasaran dan ingin mencoba. Nah, itu kok bisa tetap jadi hetero? Ketika ditanya mengapa mereka kembali, mereka mengatakan bahwa mereka hanya mencoba dan ternyata tidak cocok dan bukan gay," tuturnya lagi.
Lebih jauh, dari prasangka penularan LGBT kepada orang lain, muncul pula persepsi bahwa LGBT juga berbahaya karena menjadi penyebar virus HIV/AIDS. Menanggapi pandangan ini, pengamat sosial, Wisnu Adihartono, berpendapat bahwa hal tersebut adalah isu lama, yang terutama berkembang ketika seorang bintang film Amerika, Rock Hudson, yang gay, meninggal karena HIV/AIDS.
"Berita ini menyebar ke seluruh dunia. Berita yang mengatakan bahwa LGBT, terutama kaum gay, adalah komunitas yang membawa penyakit HIV/AIDS. Sejak itu, ada banyak stereotip negatif, penilaian, dan salah tafsir terhadap homoseksual di seluruh dunia, termasuk di Indonesia," tuturnya.
"Tapi sekarang, kita dapat melihat bahwa HIV/AIDS saat ini dapat ditularkan dari berbagai sumber. Jadi, perlu diketahui bahwa LGBT bukan satu-satunya kelompok yang bisa menularkan virus," tambah Wisnu.
Sebuah penelitian dari Gayle dan Hill, tahun 2001, juga telah mengungkapkan bahwa berdasarkan riset yang dilakukan, diketahui bahwa heteroseksual dan Injection Drug Users (IDU) merupakan penyebab utama penularan HIV/AIDS di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ini setidaknya memberi bukti bahwa LGBT tidak bisa diidentikkan dengan HIV/AIDS.
Lantas, bagaimana dengan kondisi atau perkembangan masalah LGBT di negara-negara lainnya, terutama yang dekat dengan Indonesia? Jika merujuk pada kasus di Singapura, tampaknya tidak terlalu berbeda jauh, meskipun di beberapa bagian juga terdapat perbedaan.
Leow Yangfa (41), pekerja sosial dan Direktur Eksekutif Oogachaga, sebuah lembaga berbasis masyarakat yang memberi dukungan dan bekerja dengan LGBT, termasuk individu, pasangan dan keluarga di Singapura, sejak tahun 1999, memberikan sedikit gambaran. Yangfa mengatakan bahwa di Singapura, perilaku hubungan sesama jenis antara laki-laki dewasa secara private diatur di bawah bagian 377A KUHP.
Namun demikian menurutnya, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, mengatakan bahwa hal itu tidak akan proaktif diberlakukan. Dia juga menilai keberadaan aturan itu dapat diartikan bahwa hal tersebut menciptakan sebuah lingkungan di mana homophobia dan transphobia dilembagakan.
"Contohnya, organisasi LGBT tidak diperbolehkan untuk didaftarkan, karena mereka dianggap 'menyimpang dari kepentingan nasional,'" tutur Yangfa. "Pedoman Media di Singapura juga melarang penggambaran positif dari orang LGBT dan gaya hidupnya dengan cara yang positif," tambahnya.
Hal terakhir ini seakan mirip dengan yang terjadi belakangan di Indonesia, ketika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyerukan kepada stasiun-stasiun televisi agar semua tayangan yang mempromosikan LGBT dihentikan atas dasar kekhawatiran hal itu akan mempengaruhi pemikiran anak-anak.
Dari keterangan Yangfa juga diketahui bahwa para guru sekolah di Singapura dan konselor di sekolah pemerintah pun tidak diberdayakan untuk menangani intimidasi homophobic dan transphobic siswa. Lebih jauh menurutnya, siswa LGBT di Singapura yang berada di sekolah pemerintah, pun tidak mempunyai akses untuk informasi akurat tentang kesehatan seksual dan seks.
Lantas, bagaimana pula pandangan Yangfa tentang perkembangan dan isu LGBT di Indonesia? Ketika dilontarkan pertanyaan itu, Yangfa hanya menjawab singkat, "No comment!" [Lisa Leonard]